Oleh : Nanang Purnama, SE
***
posisi kedua karena kalah kualitas? – Jawabannya, belum tentu atau justru tidak sama sekali. Penentunya adalah “mayoritas” polling SMS; serta tentu saja, setting agenda dari pemilik-pemilik kepentingan yang ada (dalam hal ini media dan sponsor) untuk menggiring opini polling.
Dari ilustrasi tersebut, setidaknya dapat tergambarkan bahwa praktik demokrasi saat ini pada faktanya masih jauh dari sempurna. Ia masih menyimpan banyak bolong problematik yang jika tidak segera diselesaikan memungkinkan bagi terciptanya sebuah kekuasaan yang kelak otoriter atas nama mayoritas. Muara persoalannya terletak pada bagaimana memperpendek jarak kesenjangan antara demokrasi di tataran konseptual dengan demokrasi di tataran implementasi. Tentu saja bukan sebuah upaya yang mudah, mengingat secara bersamaan cukup banyak kekuatan-kekuatan atau elit-elit kepentingan yang beratasnamakan rakyat justru berupaya mempertahankan pola praktikal yang ada sehubungan mindset perspektif mereka yang cenderung meredusir demokrasi ke dalam konsepsi “peluang” belaka.
Dalam Against the Personification of Demo-cracy, 2010, Smedlow menyatakan : Sejauh teori demokrasi tidak bisa menerima proyek demokratisasi politik esensial lain yang ada, itu akan merupakan sebuah proses berlawanan, kontes atau pertem-puran kepentingan untuk menjadi pusat perhatian yang bagaimanapun tetap sama, atau kosong. Antagonisme menunjukkan bahwa apa yang direpresi adalah setiap alternatif untuk demokrasi. Demokrasi, di sisi lain, meski menerima/mengelola bentuk kontes yang dapat diterima, di saat bersamaan menghalangi apapun di luar norma demokrasi, oleh karena itu, (ia juga merupakan) sebuah antagonisme .
Deskripsi dan Identifisir Problem
Meski keberadaannya secara historis didahu-lui oleh kultur Stoa sebagai buhun dari so-sialisme, demokrasi; semenjak masih merupakan lingkung dari damba imaginer Platonik belaka di era Yunani Kuno hingga kemudian memperoleh bentuk konkretnya di dalam tataran negara, kekuasaan dan kepeme-rintahan, sampai saat ini diakui belum memiliki format ideal yang mampu mengikis persoalan kesenjangan konsepsionalnya vis a vis tataran implementasi yang dimilikinya. Pemikiran-pemikiran politik yang lahir; pemi-lahan kekuasaan era Montesquieu, hingga demokrasi sosialis terkini ala Third Way-nya Giddens; kesemuanya cenderung dan nyaris melulu berada di areal pemikiran “pintu kedua” sebagai model perspektifal dari bagai-mana seharusnya kekuasaan diejawantahkan. Oleh karena, guna memberikan batas, perlu dilakukan pemilahan terlebih dahulu sbb:
1. Pintu Pertama; adalah terminologi yang digunakan di sini sebagai sebuah istilah bagi pemikiran politik tahap awal terkait substansi demokrasi; bagaimana kekuasaan itu menjadi ada, bagaimana seharusnya ia terbentuk, terpilih, sahih, dan bagaimana mekanisme idealnya.
2. Pintu kedua; adalah terminologi yang digunakan untuk menunjuk pemikiran tahap lanjutan, yakni setelah kekuasaan itu ada. Bagaimana memilahnya menjadi trias politica, bagaimana KPK dipandang perlu harus ada, adalah pemikiran di areal ini yang oleh karena itu Montesqueu serta banyak pengamat politik struktural yang kerap bicara tentang perlunya lembaga A, B dan C di tempatkan di sini.
Tanpa bermaksud mengesampingkan sum-bangsih pemikiran yang telah diberikan, sepanjang terkait soal substansi, wilayah “pintu kedua” dapat dibilang agak nadir; bagai-mana mungkin keadilan dapat ditegakkan, dilembagakan sana-sini sementara pelaku-pelaku keadilan di dalamnya tidak juga dapat dikatakan memenuhi prasyarat keadilan? Atau, bagaimana mungkin para hidung belang berkumpul untuk membentuk dan mengisi keanggotaan Komisi Anti Maksiat? – Nadir, mengingat lokus persoalan dimaksud jauh lebih dalam dari sekadar soal teknis pembentukan infrastruktur.
Menunjuk kalimat pembuka, maka kiranya dapat ditenggarai bahwa persoalan demo-krasi; meski tetap berkaitan dengan soal infra-struktur, utamanya berada di areal “pintu pertama”, yakni soal suprastruktur, soal struk-tur atas dengan asumsi-asumsi dasarnya yang tidak atau belum memperoleh ejawantah yang sepenuhnya.
Secara kronologis persoalan itu muncul sejalan historisitasnya yang menunjuk pada mana demokrasi lahir lebih sebagai andaian atau wacana ide meski merupakan juga respons tersembunyi terhadap kekuasaan represif era monarki aristokrasi Yunani kuno saat itu. Idea demos – cratein, pemerintahan rakyat, meru-pakan bahasan dan sebaran laten yang lantas meluas dengan melulu bertumpu secara apriori pada keinginan dari terpenuhinya kehendak rakyat, tanpa memperoleh for-mulasi yang jelas sehingga mencapai titik kultifikasi, mistifikasi. Fox populi fox Dei, inilah salah satu bentuknya. Asumsi dasar yang terlalu diperluas.
Pada saat, wacana ide itu menguat di abad pertengahan, mistifikasi pun mencapai masifi-kasi. Kata “rakyat” sejalan fox populi fox Dei menjadi sakral dan langgeng sampai sekarang. Itulah sebab mengapa hampir setiap elemen komunitas, setiap elit selalu berbicara mengatasnamakan rakyat. Sebuah kata sakti, meski sebenarnya tak seorangpun tahu dima-na sebenarnya alamat rakyat itu berada.
Di tataran konsepsi, mistifikasi pada prin-sipnya terjadi sebagai akibat dari satu kondisi dalam mana suatu terma, suatu obyek teoria, amat sulit mencapai konkretasi. Dan demokrasi telah melakukan kesalahan tersebut dalam mana elemen tematis di dalamnya, yakni “rakyat” merupakan elemen yang sangat sulit diidentifisir, ditunjukkan atau dikonkretasi bentuknya. Ia amat abstrak,
Sayangnya mistifikasi “rakyat” dalam demokrasi tersebut berjalan ajeg. Terminologinya terus terpelihara dan kian menjadi dogmatik, menjadi mindset imperatif yang lantaran sulitnya konkretasi pada akhirnya disimplifikasi ke dalam subterma praktikal bernama “mayoritas”. Inilah sumber toxic-nya yang ke-mudian secara substantif mempengaruhi se-mua persoalan yang muncul di ranah demokrasi.
RALAT CETAK Edisi Februari
Artikel Khittah Demokrasi
Dalam konteks demokrasi, terjadi simplifikasi kata “rakyat” menjadi kata “mayoritas” yang lebih lanjut dimanipulir ke dalam pola pengangkaan. Terlanjur menjadi mainstream kesadaran, pola ini lantas meredusir formulasi dan tinjauan ulang atas baik-buruk, berguna atau sia-sia. Sehingga diakui atau tidak, demokrasi secara prinsipal merupakan sebuah sistem kuantitas, bukan kualitas. Beginilah persoalannya di deskrip-sikan.
Banyak fakta lain dapat ditampilkan. Namun kiranya fakta di bawah ini memadai sebagai tambahan timbangan deskripsional:
1. Budaya quorum. Inilah gambaran lain dari demokrasi jumlah angka. Pemenuhan jumlah, merupakan bolong yang sendiri-nya dapat mengesampingkan dimensi kualitas. Sebuah kebijakan publik, sebuah bahas atau rapat-rapat yang tidak krusial sekalipun dapat dilakukan mencapai keputusan selama memenuhi quorum tanpa memperdulikan perlu tidaknya, berguna tidaknya, ataupun berkualitas tidaknya. Walhasil, pemenuhan kepentingan di tataran kebijakan hanya bertumpu pada political lobies, lobi belaka. Tidak perlu menempuh grounding aspirasi dan analisis kualitatif nilai guna yang layak. Maka hingga ke level impeachment, quorum bisa saja dimainkan. Meminjam istilah die spiegestspirale-nya Noemann (1974), budaya quorum ini dapat menghasilkan minoritas diam meski sedianya mungkin lebih benar.
2. In-efisiensi Biaya. Laporan LIPI di awal tahun 2009 menyampaikan estimasi biaya demokrasi Indonesia (pilkada) dari mulai digulirnya otonomi sampai awal tahun 2009 telah mencapai besaran 400 trilyun. Biaya ini dipandang LIPI sepadan dengan pembangunan layanan kesehatan sekelas rumah sakit dan sekolah di pedesaan serta jalan hotmix kelas dainless di seluruh pulau Jawa!! –Itupun baru berbicara uang negara, belum kepada putaran uang yang beredar dan menghambur dari mayoritas individu calon eksekutif maupun legislatif, betapa mungkin daripadanya selesai soal jamkesmas atau soal pengangguran jika digunakan untuk investasi ekonomi di wilayah lokal masing-masing. Tidak bisa-kah kemudian disusun sebuah mekanisme yang lebih murah, efektif dan efisiens?
3. On the street democrazy. Representasi jalanan, demonstrasi, lingkaran komunitas aksi beratasnamakan rakyat. Dalam kon-teks transisi, banyak segi yang dapat ditampilkan dari munculnya pola seperti ini, diantaranya berupa probabilitas eu-phoria, rendahnya budaya belajar politik, serta kurang berjalannya saluran repre-sentasi yang ada. Banyaknya aksi yang “bermain” di tataran gejala, aksi yang tidak berlandas pada argumentasi yang jelas ajeg adalah indikatornya. Aksi-aksi menentang sekolah kelas jauh di Purwa-karta baru lalu merupakan contoh dimana dialektika antar pihak berjalan tanpa satu-pun menyadari keberadaan PP 17 tahun 2010. Sebuah inkapabilitas aksi, sekaligus inkapabilitas saluran representasi.
Deskripsi mistifikasi, tumbangnya dimensi kualitas, tiadanya fit and proper test yang qualified haruslah dijawab. Demokrasi bukanlah sedianya harus ditelan bulat-bulat, tetapi lebih dari itu dipikirkan secara bersama-sama, bagaimana membatasi dan melakukannya?
Adakah Khittah Demokrasi ?
Le bon sauvage atau pre state of nature, adalah pengandaian Rousseau atas sebuah masyara-kat alamiah pra institusi yang di dalamnya manusia tinggal dengan tak satupun lebih rendah ataupun lebih tinggi dalam keduduk-annya. Andaian ini menunjuk pada suatu kondisi dimana manusia memerintah dirinya sendiri, rakyat yang langsung memerintah dirinya, tanpa adanya penguasaan, tanpa perlu negara. Mungkin inilah khittah (garis awal) dari demos dan cratein dalam pemikiran Rousseau; ekualitas. Karenanya demos cratein memiliki khittah purba sebagai kesetaraan yang dalam konteks tiadanya penguasaan da-pat berarti keadilan dan penghargaan terha-dap jati diri kemanusiaan. Meski kemudian diilustrasikan bahwa ketika nafsu penguasaan mulai muncul dalam proses interaksi, maka akhirnya didirikanlah negara sebagai sebuah wujud kontrak sosial, sebuah Memorandum of Understanding (MoU), namun penyepakatan di dalamnya idealnya disusun dengan tetap berpijak pada khittah semula.
Ekualitas!, inilah khittah (garis awal) demo-krasi, sebuah terma yang pada saat itu; dan seharusnya sekarang, merangkum banyak aspek yang pada intinya menunjuk terutama pada proses penjagaan jati diri kemanusiaan, kesamaan dan keadilan. Inilah bagian jawab yang dapat dimunculkan, jika ditanyakan adakah khittah demokrasi? – Oleh karena itu, penguasaan, kekuasaan, triade kelembagaan; eksekutif, legislatif, yudikatif, dan semua elemen yang ada dalam sistem demokrasi mestilah berada dalam posisinya masing-masing sebagai pekerja yang mengemban a-manat pemanusiaan: Penjaminan rakyat, pen-jamin setiap bagian dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya.
Revitalisasi Peran Parpol
Ketika Khalifah Abubakar Ash-Shiddiq ra. sebelum wafatnya mengamanatkan agar para sahabat berkumpul untuk bersyu’ara memilih khalifah penggantinya. Maka 11 bijak bestari berkumpul mewakili semua sehingga terpilih-lah Umar bin Khattab ra; seorang kepala eksekutif yang dalam sejarah islam dikenal dengan sebutan Umar yang istananya adalah padang pasir, pakaian kenegaraannya adalah baju bertambal, dan bantal tidurnya adalah sebuah batu di bawah pohon kurma. (Ilustrasi yang indah dan murah sebagai wujud ejawan-tah dari konsepsi demokrasi perwakilan yang secara historis menghasilkan pemimpin khit-tah yang luar biasa pula).
Ilustrasi ke 2 : Pasca eleksi di atas, Abu Dzar Al-Ghiffari berpamit pergi meninggalkan se-tiap bentuk semua keduniawian, menyepi diri di padang pasir sampai akhir hidupnya seraya berjanji bahwa ia akan kembali dengan membawa sebilah pedang terhunus apabila ia dengar Umar dalam kekuasaannya telah me-nyimpang dari khittah. –Pada suatu saat Abu Dzar sempat mendatangi Umar, sang singa padang pasir itu jatuh terduduk, berkeringat dingin dan membatin ucapan, “Celaka aku! Abu Dzar datang pasti untuk membunuhku! Apa salahku?” –Abu Dzar memeluk Umar, ia datang hanya karena rindu silaturahim.
Dua ilustrasi di atas ditinjau dari sudut pan-dang model infrastruktur kepemerintahannya jelas berlainan dengan model kepemerintahan sebuah negara modern. Hanya saja picu utama yang ditampilkan; demokrasi sentralistik maupun desentralistik, adalah faktor manusianya. Dengan demikian demokrasi mesti menyusun suatu mekanisme agar setiap pemimpin dan calon benar-benar memenuhi dimensi kualitas yang dipersyaratkan.
Secara implementatif hal tersebut setidaknya menunjuk upaya solutif terhadap :
1. Perlunya pelembagaan fit and proper test secara ketat sedari awal.
2. perlunya pengawasan integritas (inte-grity controlling) yang kontinu sebagai tindak lanjut dari hasil fit and proper test.
Seiring ketiadaan lembaga tersebut secara ajeg dan qualified di negara kita, maka mau tidak mau partai-partai politik mesti menjadi gerbang pertama dari fit and proper test serta integrity controlling. Revitalisasi peran parpol menjadi tidak tertolak seiring kebutuhan bagi penciptaan iklim demokrasi yang lebih berku-alitas.
Dengan demikian, idealnya parpol mulai memposisikan dirinya selain sebagai wadah khittah juga sekaligus merupakan penjaga jalur khittah demokrasi. Parpol pada intinya mengemban amanat tugas pemanusiaan dan kemanusiaan, dalam mana konsistensi men-jadi urusan wajib, diawal maupun di akhir, yang kunci diantaranya bertumpu pada :
1. Peningkatan kualitas kaderisasi;
2. Penerapan fit and proper test ketat dalam keanggotaan;
3. Pengawasan integritas terhadap anggota yang duduk di saluran representasi;
4. Membangun dan menjaga soliditas ang-gota agar tidak terkontaminasi kepen-tingan-kepentingan politik praktis
Banyak jalan bagi upaya perbaikan terhadap bangunan demokrasi yang bercelah tersebut. Namun seiring kekuatan kepentingan yang berusaha mempertahankan pola absurd yang ada, revitalisasi peran, konsistensi dan penja-gaan soliditas parpol menjadi satu hal yang paling mungkin.
(Penulis merupakan seorang Praktisi Politik)