Sayyidina Hamzah, Pahlawan Perang Badar dan Uhud
Senin, 09 November 2009 11:18 | | |
Di antara sahabat Nabi saw yang terkenal paling pemberani adalah paman beliau sendiri, Hamzah bin Abdul Muthalib. Beliau seorang lelaki Arab yang paling berani, pejuang yang pantang mundur, dan komandan perang Islam yang cerdas dalam beberapa peperangan yang sangat menentukan masa depan Islam, seperti perang Badar dan Uhud. Dengan keahlian perangnya yang mumpuni, dia menjadi salah seorang penentu kemenangan perang Badar dengan beberapa sahabat Nabi lainnya yang gagah berani, meskipun saat itu jumlah pasukan kaum Muslimin sedikit.
Hamzah senantiasa berada di sisi kemenakannya sendiri, Nabi Muhammad saw dan di saat tersulit pun ia selalu setia membela risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Pemimpin dan pembesar Quraisy takut dan khawatir akan keberanian beliau. Dan ketakutan itu membuat mereka tidak punya nyali untuk mencegah laju dakwah Rasulullah saw. Sehingga bisa dikatakan, Hamzah memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menjaga Islam serta membela Nabi demi keberlangsungan dan keabadian ajaran suci Islam.
Selama di Mekkah, Hamzah membantu Rasulullah saw di saat-saat genting dengan sepenuh jiwa. Beliau rela berkorban dan tak segan-segan menjadikan dirinya sebagai tumbal saat berhadapan langsung dengan kaum musyrikin.
Beliau adalah putra Abdul Muthalib dan paman Rasulullah saw. Beliau lahir pada tahun keempat sebelum peristiwa pasukan gajah (Tahun Gajah) di kota Mekkah. Di tengah masa Jahilah dan tersebarnya akidah syirik pada penduduk Hijaz, beliau tetap berpegang pada ajaran lurus Nabi Ibrahim dan dikenal sebagai pemuda yang senantiasa memberikan perlindungan kepada orang-orang lemah.
Ayahnya adalah Abdul Muthalib dan ibunya anak perempuan dari Amru bin Zaid bin Lubaid yang bernama Salmi.
Saudara Sepersusuan Rasulullah saw
Hamzah sangat dekat dengan Nabi saw. Kedekatan ini tidak hanya dari sisi spiritual namun juga dari sisi material. Tsubah, budak Abu Lahab pernah menyusui Hamzah dan sewaktu menyusui anaknya yang bernama Masruh, ia juga menyusui Nabi saw selama beberapa hari. (1) Sehingga dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Hamzah dan Nabi adalah saudara sepersusuan.
Sewaktu Nabi saw memulai menyebarkan ajaran sucinya dan masyarakat secara bertahap menerima ajaran tauhid dan pesan-pesan Al-Qur’an, Hamzah pun sebenarnya telah mengetahui dan tertarik dengan kebenaran ajaran Ilahi dan dakwah kemenakannya, Muhammad saw. Namun demi kemaslahatan saat itu ia belum menampakkan keimanan dan keyakinannya. Ia seolah menunggu moment yang tepat untuk menunjukkan ketertarikan dan kecintaannya terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw serta mendukung risalah Ilahi secara terang-terangan.
Karena Hamzah hidup bersama kaum musyrikin maka ia mengetahui pelbagai konspirasi mereka terhadap Nabi saw. Hal itulah yang membuatnya semakin tergugah dan tegar untuk membela Rasul saw. Setiap dakwah Islam semakin bertumbuh dan jumlah kaum Muslimin semakin bertambah maka perlawanan kaum musyrikin pun semakin hebat. Keteguhan dan ketegaran Nabi saw di jalan kebenaran dan syariat Ilahi begitu menggugah perasaan Hamzah. Beberapa tahun setelah masa pengangkatan Nabi berlalu, terbuka kesempatan bagi Hamzah untuk menunjukkan keimanan dan akidahnya. Sebagian mengatakan bahwa Hamzah masuk Islam pada tahun kedua pasca bi’tsah (masa pengangkatan Nabi), sebagiannya lagi menyakini pada tahun keenam pasca bi’tsah. Kisah mengenai masuk Islamnya beliau sangat menarik:
Setelah pengangkatan Muhammad saw menjadi Nabi, Hamzah juga mengucapkan syahadat dengan menyakini keesaan Allah Swt dan kebenaran agama yang dibawah oleh putra saudaranya. Setelah Hamzah masuk Islam, kaum Quraisy mengajukan beberapa permintaan/usulan kepada Rasulullah saw. Sebab mereka sadar bahwa laki-laki yang paling berani kini telah menyatakan keimanannya di hadapan Nabi saw, sehingga karena itu mereka tak lagi dapat mengharapkan dukungannya. Namun Nabi saw tak memenuhi satupun dari permintaan mereka.
Usai Abu Jahal menyampaikan pidatonya di tengah-tengah Kabilah Quraisy, mereka memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad.
Suatu hari Abu Jahal melihat Nabi di bukit Safa, lalu ia memaki Rasul. Nabi tetap saja berjalan menuju ke rumah beliau tanpa memperdulikan makian Abu Jahal. Budak Abdullah bin Jad’an yang menjadi saksi mata atas peristiwa tersebut melaporkannya kepada Hamzah. Tanpa berpikir panjang dan memikirkan akibatnya, Hamzah memutuskan untuk membalas perlakukan buruk yang didapat oleh kemenakannya. Di tengah perjalanan ia menemui Abu Jahal yang berada di tengah kerumunan orang-orang Quraisy. Tanpa memberikan kesempatan kepada yang lain untuk berbicara, ia mendekati Abu Jahal dan langsung menghantam kepalanya dengan cambuk, sehingga kepala Abu Jahal bersimbah darah. Hamzah pun berkata, “Berani kau menghina Rasulullah? Saya beriman dengan apa yang dikatakannya dan akan mengikuti jalan kemanapun dia pergi. Jika kau berani, silakan berhadapan denganku!” Dengan menghadap kepada orang-orang Quraisy, Abu Jahal berkata, “Saya telah berbuat buruk pada Muhammad, dan wajar Hamzah marah.” (2)
Ketika penyiksaan kaum Musyrikin kepada pengikut Nabi Muhammad saw semakin menjadi-jadi, beberapa sahabat beliau berhijrah ke Habasyah. Tidak berapa lama kemudian Nabi saw pun akhirnya memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Beberapa kelompok kaum Muslimin Yatsrib bertemu dengan Nabi saw di Mina saat mereka melaksanakan ibadah haji. Mereka berjanji bahwa jika sekiranya Rasulullah saw dan kaum Muslimin lainnya berhijrah ke Madinah maka mereka akan memberikan perlindungan terhadap umat Islam yang teraniaya tersebut.
Demi kelancaran pertemuan dan keberlangsungan perjanjian tersebut, Hamzah melindungi dan menyembunyikan pertemuan tersebut dari kaum Musyrikin. Akhirnya, setelah satu dua tahun kemudian kaum Muslimin mendapat kesempatan dan peluang untuk berhijrah. Sebelum Rasulullah saw berhijrah, beberapa kelompok terlebih dahulu berhijrah ke Yatsrib dan Hamzah ikut di antara mereka. Setibanya di Madinah, mereka menunggu detik-detik kedatangan Nabi saw.
Akhirnya Nabi saw hijrah ke Madinah. Hijrah Nabi saw ini membuat kekuatan umat Islam semakin bertambah, sekaligus membuat permusuhan kaum Musyrikin melemah. Sampai akhirnya umat Islam dan kaum musyrikin saling berhadap-hadapan pada perang Badar. Pada perang yang pertama kali ini Sayyidina Hamzah mendapat gelar asadullah wa asadurrasul (singa Allah dan Rasul-Nya). Saat itu beliau diserahi amanah oleh Rasulullah untuk menjadi komandan perang dimana bendera perang ada di tangannya. Hamzah memimpin pasukan Islam yang hanya berjumlah 30 orang untuk berhadapan dengan 300 orang dari laskar Quraisy. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan, tahun pertama hijriyah. Meskipun tidak terjadi kontak fisik antara kedua kubu namun Hamzah merasa terhormat dan bangga ketika ditunjuk oleh Nabi sebagai pimpinan pasukan.
Epik kepahlawanan dalam Peperangan
Perkembangan dakwah Islam yang pesat membuat kaum Quraisy semakin murka dan semakin meningkatkan penyiksaan dan permusuhan mereka terhadap umat Islam. Bahkan Abu Lahab, paman Nabi saw dan istrinya berkali-kali bersikap buruk terhadap Rasulullah saw, utamanya ketika mereka bertetangga dengan beliau. Nabi saw tidak mampu berbuat apa-apa ketika kepala dan wajah beliau dilempari berbagai kotoran dan sampah serta kotoran kambing. Hamzah pun membalas tindakan setimpal yang dilakukan oleh Abu Lahab.
Sariyah (perang yang tidak diikuti Nabi saw) pertama: Rasulullah saw berhijrah dari Mekah ke Madinah pada hari Senin 12 Rabiul Awal dan bendera pertama Rasulullah saw yang berwarna putih, pada bulan Ramadhan, awal bulan ketujuh tahun pertama Hijriyah, diserahkannya kepada Hamzah, pamannya. Abu Marshad Kannas bin Hushain Ganawi, termasuk orang pertama yang masuk Islam dan sekaligus teman sebaya Hamzah, mengikatkan bendera itu di pundaknya. Rasulullah saw mengutus Hamzah dengan 30 sahabat Muhajirin menuju ke medan perang untuk menghadapi 300 orang pasukan Quraisy. Pasukan Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu pasukan musuh telah melakukan perjalanan dari Syam dan ingin kembali ke Mekah. Di salah satu desa di tepi laut merah dua pasukan ini bertemu. Mujaddi bin Amru Jahni yang memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak menjadi mediator dan berusaha keras agar kedua kelompok berunding dan mencegah terjadinya peperangan.
Pada bulan Safar tahun awal Hijriyah, Rasulullah saw ikut serta dalam Ghazwah Abwa (perang yang diikuti Nabi saw) Abwa untuk pertama kalinya. Abwa adalah tempat yang berjarak 37 km di antara Mekah dan Madinah (3). Saat itu beliau memberikan bendera putih kepada Hamzah. Dalam Ghazwah ini, Rasulullah saw bertekad untuk menghadapi kafilah Quraisy, namun beliau tidak bertemu langsung dengan pasukan musuh.
Pada bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijriyah, Rasulullah saw berangkat menuju Gazhwa Dzul’asyirah dan lagi-lagi beliau memberikan bendera putih kepada Hamzah. Beliau bergerak bersama 150 pasukan sukarelawan Muhajirin. Kelompok pasukan ini memiliki 30 ekor unta dan mereka saling bergantian mengendarainya. Ketika Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya tiba di Dzul’asyirah, pasukan kaum kafir Quraisy telah melewatinya sejak beberapa hari sebelumnya. Ketika kembali pun, pasukan musuh melewati tepian pantai sehingga tidak bertemu dengan Rasulullah saw dan para sahabatnya. (4)
Pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum kuffar Quraisy yang dikenal dengan nama perang Badar. Sewaktu Rasulullah saw merapikan barisan kaum Muslimin, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan angin kencang ini bertiup berulang sampai beberapa kali. Angin kencang ini sebagai pertanda kedatangan para malaikat. Yang pertama, Malaikat Jibril dengan seribu malaikat lainnya datang menghadap Rasulullah saw, yang kedua Malaikat Mikail dengan seribu malaikat di sebelah kanan Rasulullah saw dan yang ketiga Malaikat Israfil dengan seribu malaikat disisi kiri Rasulullah saw. Kesemua malaikat ini mengenakan sorban (ikat kepala) yang terbuat dari cahaya yang berwarna hijau, kuning dan merah yang menggelantung sampai di pundak mereka, dan mereka menggantungkan bulu dan rambut di dahi unta-unta mereka. Rasulullah saw bersabda kepada sahabat-sahabatnya, bahwa mereka adalah malaikat-malaikat yang akan memberikan bantuan dan dukungan kepada kaum Muslimin. Para malaikat telah menandai diri mereka, maka kalian pun hendaklah melakukan hal yang sama. Lalu para sahabat mendandai topi besi yang dikenakan di kepala mereka dengan bulu onta(5)
Orang yang pertama kali tiba di medan pertempuran dari kaum Muslimin adalah Muhajja` (budak yang dimerdekakan oleh Umar bin Khattab). Kaum musyrikin berteriak dengan keras, “Hai Muhammad, siapa saja yang punya hubungan dengan kami, kirimlah dia untuk berperang dengan kami.” Nabi Muhammad saw berkata kepada Bani Hasyim, “Bangkitlah! Berperanglah demi kebenaran yang dengannya Nabi kalian diutus dan mereka datang untuk memadamkan cahaya kebenaran itu.!!!”
Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib dn Ubaidah bin Harits bin Muthalib keluar dari barisan dan menuju mereka. Karena ketiga orang tersebut mengenakan penutup kepala sehingga sulit untuk dikenali. Utbah berkata, “Berbicaralah sehingga kami dapat mengenali suara kalian!” Hamzah berkata, “Sayalah Hamzah, putra Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya.” Utbah berkata, “Ya, kamu adalah pembesar, lantas siapa dua orang bersamamu ini?” Hamzah menjawab, “Ali bin Abi Thalib dan Ubaidah bin Harits”. Utbah berkata, “Dua orang bersamamu juga adalah juga orang-orang besar”.
Waktu itu Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Walid bin Utbah dan berhasil membunuhnya. Sementara Hamzah berduel dengan Utbah dan juga berhasil membunuhnya dengan hanya dua pukulan. Dan Ubaidah bin Harits sahabat Nabi yang paling muda saat itu berdiri menghadapi Syaibah. Syaibah memukulkan pedangnya pada kaki Ubaidah dan membuat pergelangan kaki Ubaidah terpotong. Melihat itu Hamzah, singa Allah dan Rasul-Nya bersama Ali segera menyerang Syaibah dan mereka berhasil membunuhnya.(6)
Dalam perang ini, Abdurrahman bin Auf dan Bilal Habasyi berhasil menawan Umayyah bin Khalf dan anaknya. Bilal berkata, ”Waktu itu saya berada diantara Umayyah dan anaknya, kemudian saya menangkap mereka. Umayyah bertanya kepada saya, “Siapa diantara kalian yang menandai dadanya dengan bulu onta?”. Saya menjawab, “Hamzah bin Abdul Muthalib.” Ia berkata, “Hamzah membawa malapetaka atas diri kami.”
Pertengahan Syawal tahun kedua Hijriyah. Kabilah Bani Qainuqa’, kelompok yang paling berani diantara kelompok kaum Yahudi yang berprofesi sebagai pandai besi memiliki ikatan perjanjian dengan Abdullah bin Ubay dan juga Rasulullah saw. Ketika terjadi perang Badar, kebencian dan rasa dengki membuat mereka memutuskan untuk membatalkan perjanjian. Allah Swt menurunkan surah Al-Anfal ayat 58 kepada Rasulullah saw, “Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat.” (7)
Dengan turunnnya ayat ini, Rasulullah menjadi waspada terhadap Bani Qainuqa’. Beliau menyerahkan bendera ke tangan Hamzah dan memerintahkannya dengan beberapa pasukan untuk menghadapi mereka. Bani Qainuqa’ adalah kelompok Yahudi yang pertama kali melakukan pengkhianatan kepada Islam. Ketika Rasulullah saw baru melakukan pengepungan, kontan saja mereka merasa ketakutan, sehingga mereka pun menyerah kepada kaum Muslimin dan menyerahkan harta-harta mereka. Rasulullah saw bersabda, “Bebaskan mereka, Allah Swt telah melaknat mereka dan Abdullah bin Ubay”.(8)
Perang Uhud: Akhir Syawal tahun kedua Hijriyah menjelang terjadinya perang Uhud. Hamzah, sebagai panglima perang—sebelum memulai perang— berkata, “Demi Allah Swt yang telah menurunkan Al-Qur’an, hari ini saya tidak akan menyentuh sedikit pun makanan sampai saya menghadapi lawan dalam peperangan.”(9)
Hamzah bersama Kaum Muslimin
Di malam hari perang Uhud, Rasulullah saw tahu bahwa tidak lama lagi pamannya akan gugur sebagai syahid. Beliau pun berbincang dengan Hamzah dan menanyakan kembali keyakinannya mengenai ketauhidan dan kenabian serta risalah yang dibawanya. Hamzah kemudian menjawab dengan tegas dan kembali mengucapkan syahadat dengan lidahnya. Akhirnya Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hamzah adalah pemimpin para syuhada, singa Allah dan singa Rasul-Nya dan paman Nabi.” Sabda Nabi ini menebar aroma kesyahidan dan membuat dada Hamzah bergemuruh. Hamzah pun meneteskan air mata kebahagiaan. Rasulullah saw berdoa agar pamannya tetap tegar berdiri di jalan tauhid dan segala keraguan di dalam hatinya segera sirna.
Menjelang Perang Uhud, Hamzah berkata kepada Nabi saw, “Saya bersumpah atas nama Allah, tidak akan sedikitpun menyentuh makanan sebelum mengeluarkan semua musuh dari kota Madinah.”
Perang Uhud terjadi pada bulan Ramadhan, kaum Muslimin berbaris dengan rapi di kaki gunung Uhud di bagian utara Madinah. Setelah perang satu lawan satu, maka dimulailah perang secara terbuka. Hamzah bertempur dengan gagah berani dan penuh dengan keimanan yang meluap-luap. Dengan dua pedang di tangannya, ia menyerang dengan penuh keberanian sambil berteriak, “Saya adalah singanya Allah.”
Thalhah bin Abi Thalhah pembawa bendera kaum Musyrikin berteriak sambil menantang, “Siapakah yang berani berhadapan denganku?” Ali bin Abi Thalib bergegas mendekatinya dan menebaskan pedang ke arah kepalanya. Tebasan itu membuatnya keningnya terbelah dan mengucurkan darah sehingga akhirnya ia pun terjatuh dan terkulai ke tanah. Melihat itu, Rasulullah saw tersenyum seraya mengumandangkan takbir. Kaum Muslimin pun serentak mengumandangkan takbir yang sama. Bendera kaum musyrikin tersebut kemudian beralih ke tangan Utsman bin Abi Thalhah. Hamzah segera berlari ke arahnya, dan mengayungkan pedang ke bahunya. Tebasan pedang Hamzah mematahkan tangan dan bahunya, pedangnya terlepas dan paru-parunya terburai keluar. Hamzah kemudian kembali sembari mengumandangkan syair, “Saya putra pemberi minum jamaah haji.” (10)
Banyak kaum musyrikin yang terbunuh di perang tersebut di tangan Hamzah. Diantaranya adalah pemegang bendera laskar Bani Abduddar, Atha’ bin Abdu dan Utsman bin Abi Thalhah dan juga Saba’ bin Abdul `Uzzah dan Amru bin Fadlah.
Wahsyi Habasyi
Jabir bin Mut’im mempunyai budak yang bernama Wahsyi yang sebagaimana orang-orang Habasyah lainnya terkenal pandai menombak dan jarang gagal mengenai sasaran ketika melemparkan tombaknya. Pada perang Uhud Jabir berkata kepada budaknya, “Pergilah bersama pasukan ini, dan jika kamu melihat pamannya Muhammad maka bunuhlah dia. Aku ingin membalas dendamku atas kematian pamanku Ta’imah bin Addi di perang Badar. Jika kamu berhasil membunuhnya maka kamu kubebaskan.” Hindun, anak Utbah juga meminta Wahsyi untuk membunuh salah satu dari Muhammad, Ali atau Hamzah untuk membayar kematian bapaknya. Wahsyi pun menjawab, “Saya sama sekali tidak bisa menemukan cara untuk membunuh Muhammad ataupun Ali pun. Mereka begitu lincah dan tangkas di medan perang. Namun Hamzah mudah terjebak dalam kemarahan dan emosional saat terjadi peperangan sehingga ia tidak memperhatikan lagi kondisi sekitarnya. Mungkin aku bisa membunuhnya dengan cara licik.”
Wahsyi bercerita, “Saya pada perang Uhud selalu mengikuti Hamzah dari belakang. Dia berperang bagaikan singa liar yang menerkam jantung musuh-musuhnya. Saya bersembunyi di balik bebatuan dan pepohonan sehingga dia tidak bisa melihatku. Ketika dalam keadaan sibuk menghadapi musuh-musuhnya, saya pun semakin mendekat ke arah Hamzah. Dengan jarak yang menyakinkan sayapun melemparkan tombakku ke arahnya. Tombak itupun tertancap di tubuhnya. Ia hendak menyerang ke arahku, namun karena rasa sakit yang sangat ia pun berteriak tak berdaya hingga ruhnya terpisah dari badannya. Dengan penuh kehati-hatian saya pun mendekat ke arahnya. Setelah mengambil senjatanya, sayapun bergegas kembali ke pusat pasukan kaum Quraisy sembari menunggu saya dibebaskan.” (11)
Setibanya kembali di Mekkah, Wahsyi pun mendapat imbalan kebebasan setelah ia menjalankan tugasnya dengan baik. Pada hari Fathul Mekkah (penaklukan kota Mekkah) dia melarikan diri ke Thaif. Pada tahun ke Sembilan Hijriyah penduduk Thaif datang berbondong-bondong ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Wahsyi pun berencana kembali melarikan diri ke Syam atau Yaman. Namun ia mendapat kabar, siapapun yang bersyahadat benar dengan lidahnya dan menyatakan keislaman maka Nabi Muhammad saw tidak akan membunuhnya. Ia pun bergegas menghadap kepada Nabi Muhammad saw dan kemudian mengucapkan syahadat sebagai pernyataan keislamannya. Rasulullah saw memintanya untuk menceritakan bagaimana ia bisa membunuh Hamzah. Setelah diceritakan Rasulullah saw pun bersedih dan berkata kepada Wahsyi, “Mulai sekarang jangan perlihatkan lagi wajahmu di hadapanku.” Atas permintaan Rasulullah saw, Wahsyi pun menjauh dan tidak menampakkan diri di hadapan Rasulullah saw sampai kemudian beliau saw wafat. Sepeninggal Rasulullah saw, Wahsyi pun berkesempatan mengikuti perang melawan Musailamah. Dengan dibantu seorang sahabat dari kaum Anshar, Wahsyi berhasil membunuh Musailamah. Dengan penuh haru ia berkata, ”Saya telah membunuh manusia terbaik setelah Rasulullah saw, dan juga telah membunuh manusia paling buruk di dunia.”(12)
Akibat dari masa lalu yang gelap, Wahsyi sampai akhir hayatnya enggan untuk berhubungan dengan kaum Muslimin. Namanya dihapus dari deretan laskar kaum Muslimin karena sikapnya yang tidak baik dan karena banyak meminum minuman keras ia pun sering dijatuhi hukuman cambukan. Umar bin Khattab berkata, “Pembunuh Hamzah tidak akan lagi mendapat pembebasan dan tidak layak masuk dalam daftar orang-orang baik.” (13)
Istri Abu Sufyan dan Kebenciannya terhadap Hamzah
Hindun, anak perempuan Utbah memerintahkan kepada Wahsyi untuk membunuh Hamzah sebagai penebus darah ayahnya. Dan Wahsyi pun menyanggupinya. Hindun banyak membuat gelang kaki dan kalung leher dari telinga dan hidung para syuhada Islam yang gugur pada perang sebelum perang Uhud. Ia memberikan dan mengenakan semuanya itu pada Wahsyi dan meminta agar hati Hamzah diserahkan kepadanya. Mengenai perbuatan yang sangat tidak pantas dan menjijikkan ini, Abu Sufyan berkata, “Saya tidak pernah menyetujui perbuatan ini dan juga tidak pernah memerintahkannya.” Karena perbuatan buruk Hindun ini, ia mendapat julukan “pemakan hati”. Anak-anaknya pun dikenal dengan julukan anak dari si pemakan hati.
Nama Hindun semakin menjijikkan ketika ia yang notebene masih saudara sepupu Hamzah dan putri dari Utbah bin Abdul Muthalib berdiri di atas batu dan dengan penuh rasa dendam ia menguyah-nguyah hati Hamzah dan menelannya. Abu Sufyan pun ikut mendekati jasad Hamzah dan bertindak tidak senonoh tehadap mulut Hamzah. Pada saat itu Hulais bin Zabban yang kebetulan lewat di tempat itu melihat perbuatan yang tidak senonoh Abu Sufyan lalu ia berteriak, “Wahai orang-orang, lihatlah tokoh besar kabilah Quraisy ini dengan tanpa hati ia memperlakukan tidak senonoh kepada anak pamannya sendiri.” Abu Sufyan merasa malu dengan perbuatannya sendiri dan berkata, “Apa yang saya lakukan ini tidak pantas kau lihat, dan ini juga bukan sebuah kesalahan besar.”
Kesedihan Rasulullah atas Syahidnya Hamzah
Rasulullah saw pada perang Uhud berkali-kali menanyakan tentang keadaan pamannya. Salah seorang sahabat Rasulullah bernama Harits bin Shamah bermaksud untuk memberikan kabar kepada Rasulullah saw. Namun mengingat kondisi jenazah Hamzah yang begitu memprihatinkan, ia tidak sampai hati menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Karena belum juga ada kabar, Rasulullah saw memerintahkan Sayidina Ali untuk mencarinya. Namun sewaktu Ali juga melihat jenazah Hamzah dalam kondisi tidak utuh lagi, ia pun terduduk disamping jenazah tersebut dengan penuh kesedihan. Beliau pun berat menyampaikan berita duka tersebut kepada Rasulullah saw.
Rasulullah akhirnya mencari sendiri jasad Hamzah. Beliaupun menemukan jasad Hamzah penghulu para syuhada yang begitu mengenaskan. Beliau saw bersabda, “Tidak ada musibah yang lebih besar dari kematianmu dan tidak ada kesedihanku yang lebih sulit dari ini.” (14) Setelah itu, beliau berkata, “Jika sekiranya Allah memberiku kekuatan, aku akan membalas kematian Hamzah dan akan kubunuh 70 orang Quraisy dan akan kupong tubuh mereka.” Pada saat itu malaikat Jibril datang dan membacakan sebuah surah yang berbunyi, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (15)
Rasulullah saw setelah mendengar ayat tersebut bersabda, “Saya akan bersabar dan tidak akan membalas dendam.” Rasulullah saw pun mengambil jubahnya dan menutupi wajah Hamzah. Namun jubah itu terlalu pendek bagi Hamzah. Jika jubah itu menutupi kepala maka kaki Hamzah terlihat jelas, namun jika ditarik untuk menutupi kakinya, kepalanya akan terlihat. Karenanya Rasulullah menarik jubah tersebut menutupi kepala Hamzah dan menutupi kaki Hamzah dengan rerumputan dan ilalang. Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya perempuan-perempuan Abdul Muthalib tidak bersedih, saya akan meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini dan membiarkan binatang-binatang padang pasir memangsa dagingnya hingga sampai hari kiamat ia akan tetap berada dalam perut mereka. Semakin besar musibah yang dihadapinya, maka akan semakin besar pula pahala yang akan didapatnya.”(16)
Rasulullah saw berdiri beberapa saat di sisi jenazah Hamzah dan berkata, “Jibril datang di sisiku dan memberikan kabar bahwa diantara penghuni tujuh lapisan langit tertulis, Hamzah bin Abdul Muthalib asadullah wa asadur rasuluhu (17) (Hamzah bin Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya).
Diriwayatkan dari Rasulullah saw, “Barang siapa yang berziarah kepadaku namun tidak berziarah kepada pamanku Hamzah, sama halnya menyatakan permusuhan kepadaku.” (18)
Rasulullah saw memberikan gelar kepada Hamzah, Sayyidul Syuhada (penghulu para syuhada). Rasulullah saw begitu memuliakan kesyahidan Hamzah. Sewaktu meninggalkan bukit Uhud ingin kembali ke kota Madinah, Rasulullah saw menangis dan juga memerintahkan kepada keluarga kaum Anshar untuk pergi ke rumah Hamzah guna menangis dan meratap di sana. Kepada kaum Muslimin Rasulullah saw bersabda, “Pergilah kalian berziarah ke makam Hamzah”. Rasulullah saw pun selalu berkunjung dan menziarahi para syuhada Uhud, khususnya di makam Hamzah dan beliau selalu menyampaikan salam kepadanya.
Sewaktu kaum musyrikin meninggalkan gunung Uhud, Rasulullah saw mendekati para syuhada. Beliau tidak memandikan jenazah Hamzah dan juga para syuhada lainnya. Beliau saw bersabda, “Kuburkanlah mereka bersama dengan darah-darah mereka tanpa harus dimandikan. Saya yang akan menjadi saksi mereka.” Jenazah Hamzah adalah jenazah yang pertama kali Rasulullah saw mengumandangkan takbir empat kali atasnya. Setelah itu, beliau memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk meletakkan jenazah para syuhada lainnya di sebelah Hamzah. Rasulullah saw melakukan sholat untuk setiap syuhada. Dan khusus untuk Hamzah, Rasulullah melakukan shalat sampai tujuh puluh kali. (19)
Atas perintah Rasulullah saw, Hamzah bersama Abdullah bin Jahasy, syuhada Uhud yang juga dimutilasi dimana telinga dan hidungnya terpotong dikuburkan dalam satu makam. (20)
Setelah itu Rasulullah saw bersama sahabat-sahabatnya kembali ke Madinah. Haminah, putri Jahasy dan saudara perempuan Abdullah menemui Rasulullah saw. Ketika Rasulullah menyampaikan kabar mengenai kesyahidan Abdullah, Haminah berkata, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un, saya memohonkan ampun kepada Allah atas kesalahan-kesalahannya.” Setelah itu ia bertanya mengenai kabar Hamzah. Ketika mendengar kabar kesyahidan Hamzah, ia kembali mengucapkan hal yang sama dan memohon kepada Allah agar dosa-dosa keduanya diampuni-Nya.
Perempuan-perempuan Anshar dan Hamzah
Ketika kembali dari Uhud ke Madinah, Rasulullah saw melihat perempuan-perempuan kaum Anshar menangis dan mengucurkan air mata atas kesyahidan keluarga mereka sendiri di tempat yang bernama “Bani Abdul Syahl” dan “Bani Dzapar”. Rasulullah saw pun turut bersedih melihat itu dan bertanya, “Tetapi mengapa perempuan-perempuan itu tidak menangis untuk Hamzah?” (21) Sa’ad bin Ma’adz dan Usaid bin Hadhir mendengar perkataan Rasulullah saw ini lalu kemudian mendekati perempuan-perempuan itu dan berkata, “Pergilah kalian ke masjid dan turutlah berduka atas kesyahidan Hamzah, paman Rasulullah.” Mereka pun pergi melakukan apa yang dianjurkan. Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah merahmati mereka, kembalilah dan janganlah kamu enggan merasakan penderitaan orang lain.”(22) Rasulullah saw juga bersabda, “Semoga Allah merahmati kaum Anshar, sekarang saya mengetahui, betapa mereka memiliki kepedulian dan perasaan sepenanggungan, persilakan mereka kembali.” (23)
Perempuan kaum Anshar sampai sekarang (kurun ketiga Hijriyah) jika ada diantara keluarga mereka yang meninggal dunia, mereka lebih dulu bersedih dan menangis atas meninggalnya Hamzah baru kemudian menangisi keluarganya sendiri. (24)
Salam atasmu wahai paman Rasulullah dan salam Allah pula atasmu. Salam atasmu wahai yang telah gugur di jalan Allah!. Salam atasmu wahai Singa Allah dan singa Rasul-Nya! Kami bersaksi bahwa engkau telah berjihad di atas agama Allah dan telah mempersembahkan jiwa ragamu dalam membantu perjuangan Rasulullah. Semoga engkau mendapat kemuliaan di sisi Allah Swt.
Ayat 19 surah Al-Hajj turun di saat perang Uhud tengah berkecamuk, sewaktu Imam Ali dan Hamzah berhasil membunuh Syaibah, Allah Swt berfirman, “Inilah dua golongan (golongan mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka.” Sebagaimana halnya surah Ad-Dukhan ayat 16, Surah Al-Qamar ayat 45, Surah Al-Hajj ayat 55 dan Az-Zariyat ayat 45 turun berkenaan dengan perang Badar.(25)
Hamzah, penghulu para syuhada adalah teladan dalam hal keimanan, pengorbanan dan keberanian. Kecintaannya kepada Rasulullah dan jasanya yang besar terhadap Islam membuat namanya abadi dan akan terus hidup sepanjang sejarah.
Sumber http://www.taqrib.info/indonesia