Kesenjangan Kebijakan dengan Publik
(Perihal Upaya Penyesuaian Tarif PDAM Kabupaten Purwakarta)
Oleh : Nanang Purnama, SE.
Sepanjang operasionalitasnya melulu bertumpu pada tarif dengan tidak melibatkan unsur pemberian jasa dan kemanfaatan umum sebagai satu kesatuan sifat, maka secara yuridis filosofis dapat dikatakan bahwa ia bukan merupakan perusahaan daerah
Substansi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah, sedianya sudah teramat jelas. Perusahaan daerah didirikan dengan tujuan untuk melaksanakan pembangunan daerah dalam rangka ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sifat operasionalnya dijalankan dalam kerangka satu kesatuan produksi dari pemberian jasa, penyelenggaraan kemanfaatan umum dan pemupukan pendapatan. Implikan konsepstual sebagai prime motive yangsemestinya dengan mudah dapat ditangkap oleh setiap pelaku kebijakan daerah daripadanya, adalah bahwa ia dilahirkan dengan latar belakang antisipasi dan upaya perlindungan terhadap publik dari penguasaan sektor-sektor kebutuhan primer oleh pihak industrial swasta. Perusahaan daerah adalah wujud dari ekonomi kerakyatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk menjaga relevansi, persistensi dan konsistensi normatif dari sebuah perusahaan daerah amatlah diperlukan. Evaluasi; dalam hal ini mengambil PDAM sebagai contoh, menjadi wajib, secara berkala dan dalam lingkup yang ditentukan.
Apapun penentuan lingkupnya terkemudian, sebagai garis bawah, evaluasi haruslah pertama kali berangkat dari imperatif kategoris berupa standar kebutuhan rakyat dalam pertautan logisnya dengan konteks tujuan, serta dari analisis atas satu kesatuan sifat di level operasional sebagai satuan aspek yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Selain mutu pelayanan, tingkat baku mutu air, pendekatan analisis sebagai bahan evaluasi adalah melalui tetapan tarif.
Landasan Kebijakan Pro Publik
Sejalan asas lex posteriori derogat legi priori, UU 32 tahun 2004 yang merupakan omnibus regulations (aturan muara) bagi setiap bentuk implementasi pemerintahan daerah, adalah peraturan perundangan yang lahir belakangan dibanding UU 5 tahun 1962. Hal ini tidak perlu disalahtafsirkan UU 5 tahun 1962 berada di bawah, apalagi gugur, mengingat sisi lain pengertian dari asas dimaksud adalah perlunya analisis bersifat intertekstual, sebagai upaya pertautan logis antar produk hukum yang sederajat dari konsep waktu, apalagi yang tidak sederajat. Artinya, dalam konteks otonomi, setiap analisis kebijakan, sektoral sekalipun, haruslah memiliki tautan logis dengan UU 32 tahun 2004. Begitupun dengan UU lainnya.
Terkait dengan persoalan PDAM, maka perlu pertama kali disini disarikan perihal teks-teks afirmatif (saling menguatkan) antar undang-undang yang kelak menjadi catatan pijak bagi analisis yang diperlukan. Konsiderans menimbang dari UU 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan ma-syarakat. Teks ini padan dengan tujuan dalam pasal 5 UU 5 tahun 1962, bahwa tujuan perusahaan daerah adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Atas dasar itu, pola intertekstualitas lain dilakukan dengan menerangkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan lisan maupun tulisan dalam penyiapan dan pembahasan raperda (pasal 139 UU 32/2004 dan pasal 53 UU 10/2004). Hal lain adalah pasal 343 ayat (2) UU 27/2009 yang menyebutkan bahwa semua fungsi DPRD dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa setiap kebijakan daerah (bukan hanya soal PDAM) haruslah menimbang publik terlebih dahulu sebagai satuan analisis. Setiap produk hukum yang lahir tanpa berlandas pada kepentingan publik di dalamnya, seharusnya dipandang cacat secara yuridis. Tujuan otonomi dan kesejahteraan publik, di level yang lazimnya dalam teknis legal draft berada di bagian level konsiderasi (pertimbangan) yuridis ini, menjadi alat ukur bagi pengaturan norma hukum selanjutnya di batang tubuh aturan. Aturan yang tidak mengindahkan alat ukur berupa konsiderasi dasar tersebut, logikanya merupakan produk hukum tanpa konsiderasi, tanpa pertimbangan, tanpa kesadaran.
Implikasinya ke dalam konteks PDAM, teks pemenuhan kebutuhan rakyat seharusnya diimplementasikan dalam satuan analisis atas kebutuhan rakyat secara riil atas air. 10 m³ sebagaimana dimuat Permendari 23/2006 hen-daknya dimengerti sebagai acuan minimal, ditempatkan dengan ditunjang analisis riil kebutuhan pokok publik daerah sehingga dihasilkan interval Standar Kebutuhan Pokok Air Daerah. Pada saat ditetapkan setelah analisis, misalnya bahwa rentang 10 m³ - 30 m³ merupakan kubikasi yang dikenai tarif dasar PDAM, inilah yang dapat dikatakan dalam sudut pandang kaidah UU 10/2004 merupakan muatan khusus daerah yang ideal.
Hal kedua, sebelum masuk kepada analisis isi raperda adalah analisis di level operasional PDAM yang harus mencerminkan satu kesatuan sifat. Apabila termuat norma hukum di dalam batang tubuh yang lebih mengutamakan aspek pemupukan pendapatan tanpa menimbang sifat lain berupa pemberian jasa dan kemanfaatan umum, maka manakala itu dengan berketidaksadaran tetap ditetapkan oleh para pelaku kebijakan, secara yuridis filosofis tentunya juga akan merupakan contoh dari kebijakan publik yang gagal.
Raperda Penyesuaian Tarif PDAM
Analisis atas Raperda penyesuaian Tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Purwakarta ini, dilakukan atas dasar amanat pasal 30 UU 10/2004 perihal penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang pada faktanya tidak pernah sekalipun dilakukan oleh Pemerin-tah Daerah. Raperda ini, pun didapat penulis dalam posisi sebagai sekretaris DPC salah satu parpol, yakni dari laporan anggota parpol yang duduk di DPRD. Untuk itu, publik yang membutuhkan dapat menghubungi penulis.
Beberapa analisis yang perlu disampaikan disini demi hak publik untuk tahu dan turut menimbang isinya adalah sebagai berikut :
1. Rendahnya Mutu Drafting
Di dalam draft raperda termuat beberapa pasal dan ayat yang saling bertentangan. Pasal 8 bertentangan dengan pasal 10 dalam hal yang satu berbicara pembulatan tagihan (yakni kurang dari 10 m³ diper-hitungkan 10 m³ dan kurang dari 20 m³ diperhi-tungkan m³) sementara yang berbicara tagihan berda-sarkan meter air. Pasal lain (9) berisi pertentangan antara ayat (1) dengan (5) dimana yang satu menyebutkan tarif melalui peraturan kepala daerah yang satu menyebutkan dengan persetujuan DPRD.
Untuk 2 hal ini saja terdapat gambaran, bagaimana mungkin terdapat sebuah aturan yang norma hukum di dalamnya satu sama lain saling bertentangan?
2. Rendahnya tafsiran material
· Permendagri 23/2006 menyebutkan tetapan tarif berdasarkan Blok Konsumsi yang dikaitkan dengan Standar Kebutuhan Pokok, pemilahan blok ke dalam kelompok, dan kategori tarif berupa tarif rendah, tarif dasar, tarif penuh dan tarif kesepakatan. Idealnya Blok I terdiri atas kelompok rumah tangga tarif rendah (yakni di bawah kaidah permendagri 10 m³) serta kelompok rumah tangga tarif dasar (yakni dari 10-30 m³, apabila 30 sejalan analisis merupakan kebutuhan riil publik). Kemudian blok II adalah yang lebih dari itu yang bisa saja dipilah dalam kelompok Niaga, Industri Kecil/Menengah, Industri Besar.
· Pasal 3 ayat (1) permendagri 23/2006 bahwa “Tarif untuk standar kebutuhan pokok air minum harus terjangkau oleh daya beli masyarakat pelanggan yang berpenghasilan sama dengan Upah Minimum Provinsi”. Ayat (2)-nya menyebutkan bahwa tarif untuk standar kebutuhan pokok tidak boleh melampaui 4% dari pendapatan masyarakat.
Tafsiran atas dua hal tersebut, sama sekali tidak muncul dalam raperda. Semua tetapan tarif yang di-usulkan tidak memuatkan kaidah tersebut, sehingga terdapat kesan pengutamaan tarif, tanpa menimbang kebutuhan dan kemanfaatan bagi rakyat. Substansi upah, blokasi, standar kebutuhan kesemuanya diabaikan. Lebih dari itu, soal muatan pembulatan sebagaimana diulas pada angka 1, menjadi gambaran upaya penghisapan ekonomi publik. Publik memakai 3 m³ akan diperhitungkan 10 m³, publik memakai 11 m³ akan diperhitungkan 20 m³. Belum lagi biaya abonemen (dana meter) dan administrasi yang saat ini diterapkan PDAM.
3. Moda Tarif.
Menyangkut hal sebagai berikut :
a. Analisis atas standar kebutuhan pokok air. Disini perlu ditekankan kembali norma 10 m³ per bulan dari permendagri adalah standar minimum yang harus ditafsirkan kembali bahwa di bawah angka tersebut berlaku tarif rendah. Persoalan yang harus dicari adalah tarif dasar yang mengacu pada kebutuhan pokok yang riil bagi rumah tangga sebagai penentu dari tarif dasar itu sendiri. Penulis menghitung bahwa untuk satu KK dengan 4 atau 5 anggota (suami, istri dan 2/3 anak), akan memiliki kebutuhan pokok berupa air untuk minum, air memasak, pel, mencuci pakain serta masing-masingnya mandi 2x dan berwudhu 5x. Dengan penggunaan seperti ini, diperkirakan bahwa 1 KK secara faktual akan membutuhkan air sebanyak 1 m³/hari, dalam arti 30 m³/bulan. Maka tarif dasar kemudian dihitung sejalan kebutuhan pokok real dimaksud, yaknisebanyak 1 m³/hari atau arti 30 m³/bulan.
b. Analisis atas kemampuan ekonomi masyarakat. Acuan standarnya adalah Upah Minimum Propinsi. Dalam konteks daerah, hal ini dapat kiranya dipadankan dengan Upah Minimum Kabupaten/ Kota. UMK diperkirakan berkisar Rp. 900.000,-
Berdasarkan dua hal tersebut kiranya perlu dirumuskan tarif dasar berupa 4% x UMK dibagi dengan 30 m³. Hasilnya akan didapat tarif dasar sebesar Rp. 1.200,-/m3. Yakni untuk standar pokok 10 - 30 m³. Untuk rumah tangga di bawah 10 m³ tentunya di bawah itu. Sebagai informasi di kisaran kubikasi dasar raperda berkeinginan menerapkannya Rp. 4.500,-, sehingga apabila terhitung 30 m³ publik akan membayar 135.000 diluar abonemen dan administrasi. Apakah ini merupakan gambaran 4% dari penghasilan? –Raperda rupanya tidak mempedulikan itu, meski (apabila penulis tidak keliru) PDAM Cirebon menerapkannya hanya Rp. 860/ m³.
4. Tarif berdasar wilayah
Muatan khusus rupanya tidak dimengerti sepenuhnya oleh para penggagas kebijakan. Pasal 10 Raperda masih membeda-bedaknkan tarif antara Purwakarta, Plered, Wanayasa, Bojong. Padahal penyeragaman di level rumah tangga sebetulnya identik pula dengan subsidi silang dalam permendagri, selain subsidi silang dengan tarif penuh niaga dan industri. Pasal 33 UUD 1945 telah jeals bahwa Bumi, air dan kekayaan yang terkandung dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi tidak perlu argumentasi bahwa air lebih mudah di daerah-daerah tertentu sehingga traif menjadi lebih murah. Semua air adalah milik publik. Lakukan subsidi silang melalui tarif penuh dan tarif kesepakatan untuk menekan tarif dasar. Boleh jadi publik Purwakarta dan Plered lebih banyak memiliki rumah tangga miskin, sehingga kenapa harus lebih mahal? Bukankah air merupakan milik bersama?
Tentunya terdapat sudut pandang dan analisis lain oleh karena itulah kenapa tulisan ini dilempar kepada publik. Selain untuk turut memikirkannya, adalah demi menghin-darkan publik dari menjadi korban kebijakan.
PDAM boleh saja berkilah, bahwa kenaikan tarif dilakukan atas dasar kebutuhan bagi pemeliharaan jaringan rusak. Namun, apa artinya penyertaan modal Pemda kepada PDAM sebesar Rp.15.566.399.997,-? –Konon untuk jaringan, tapi kenapa pembangunan jaringan airnya dilakukan oleh pemda, bahkan berusaha di-perda-kan melalui kegiatan tahun jamak? Tolong hitung pula biaya administrasi dan abonomen dikali sejumlah 18.000 pelanggan. Serta, hitung pula hasil tagihan rata-rata Rp. 100.000,- x 18.000 pelanggan x 12 bulan. PDAM sekurang-kurang menerima masukan tagihan 2 Milyar/ bulan, atau 24 Milyar per tahun.
Ada apa dan siapa dibalik PDAM, itulah dia soalnya. 35 tahun PDAM tak harus jadi parasit anggaran, parasit publik, parasit citra kepala daerah. --Kiprahnya tak sepanjang usianya.
Penulis:
Nanang Purnama, SE.
Sekretaris DPC Partai DemokratKabupaten Purwakarta