" BURHAN-ONNIE, BERSIH, TEGAS, CERDAS & SANTUN "

ICW: Evaluasi Biaya Politik Tinggi dalam Pilkada


Ilham Khoiri | Nasru Alam Aziz | Selasa, 17 April 2012 | 21:03 WIB

shutterstock
ILUSTRASI


JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch meminta DPR merevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang membuka peluang terciptanya pemilu kepala daerah berbiaya politik tinggi. Kondisi itu memungkinkan timbulnya praktik politik uang (money politics) yang pada akhirnya memicu korupsi.
"Ini problem riil karena jumlah kepala daerah yang terlibat korupsi cukup besar, yaitu 173 pejabat. Ini harus dipecahkan dengan mengevaluasi penyelenggaraan pilkada berbiaya politik tinggi," kata Koordinator ICW Danang Widoyoko, Selasa (17/4/2012), di Jakarta.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, selama periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah dijatuhi vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana. Diduga salah satu penyebabnya adalah praktik politik uang dan mahalnya biaya pencalonan.
Menurut Danang, UU Pemerintah Daerah memang membuka peluang pelaksanaan pilkada yang berbiaya tinggi. Para kandidat kepala daerah harus mengeluarkan modal besar untuk pencalonan lewat partai politik serta untuk "membeli" suara rakyat pemilih. Ketika menjabat, kepala daerah terpilih terpaksa mengembalikan modal itu, salah satunya dengan cara mencari celah korupsi dalam APBD.
"Jika dibiarkan, kondisi ini berbahaya besar. APBD yang untuk program kesejahteraan rakyat akhirnya justru dimanfaatkan untuk kepentingan elite kekuasaan lokal," katanya.
Lebih dari itu, akibat korupsi kepala daerah, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa runtuh. "Pada akhirnya, keyakinan masyarakat terhadap demokrasi juga terganggu," ungkap Danang.
Untuk itu, dia mendesak DPR merevisi secara serius UU tersebut, terutama dengan mengevaluasi biaya kampanye yang terlalu tinggi dalam pilkada. "Batasi sumber dana, belanja, dan aturan sistem kampanye sehingga menciptakan model kampanye yang lebih murah. Selama aturan itu tak diubah, kondisi ini akan terus berlangsung dan kepala daerah akan terus rawan korupsi," paparnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar