" BURHAN-ONNIE, BERSIH, TEGAS, CERDAS & SANTUN "

KEDERMAWAAN BUKAN SEKEDAR KOMODITAS POLITIK Oleh : ASARI, S.Sos.I

http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8955859334454534994#editor/target=post;postID=428269611514355336
KEDERMAWAAN BUKAN SEKEDAR KOMODITAS POLITIK Oleh : ASARI, S.Sos.I[1]
PENDAHULUAN
Pemerintah harus mendapatkan kepercayaan dari rakyat dan menjamin kehidupan mereka dengan mencukupi unsur-unsur kekuatan, makanan, dan apa yang dibutuhkan (Syafii  Antonio:46:2011)[2].
Kata THR merupakan kata yang tidak asing bagi semua lapisan masyarakat yang ada di Indonesia. Tiga huruf ini walaupun sederhana mempunyai sejuta tafsir dan makna, terlebih lagi situasi dan kondisi yang mendukung. Situasi dan kondisi yang mendukung menurut kebiasaan masyarakat kita, dapat disebut hari raya. Artinya THR (baca: Tunjangan Hari Raya) menjadi sebuah perbuatan yang tidak terpisahkan dari tradisi Hari Raya.
Kita dapat membanyangkan bagaimana jika Hari Raya tanpa THR. Entah dari mana dan dari siapa tradisi ini dimulai, tetapi satu hal yang pasti THR sudah sangat men-Tradisi pasti dilakukan pada setiap Hari Raya Lebaran khususnya.

Pada hakikatnya fenomena THR tidak hanya menjadi alat kepentingan pribadi saja yang dilakukan oleh individu untuk mengungkapkan kedermawanannya. Kedermawananan tersebut bisa jadi secara filosofis berlandaskan nilai-nilai keagamaan yang hakiki ataupun nilai-nilai kearifan lokal yang sejak dulu sudah ada. Bahkan pada prakteknya ada institusi sosial kemasyarakatan dan institusi bisnis yang menggunakan THR sebagai pendongkrak citra terhadap Branch-mark institusinya. Sehingga THR yang tadinya hanya fenomena sesaat menjadi melembaga dalam dinamika kehidupan masyarakat kita.

MAKNA KEDERMAWANAN
Terminologi kedermawanan seringkali dalam ilmu sosial disebut dengan istilah Filantropi. Istilah yang lahir menurut Riset Lenka Setkova (21:2005)[3] bahwa asal-muasal kata filantropi dapat ditemukan di Yunani, yang berarti “cinta pada kemanusiaan”. Secara deskriptif Rustam Ibrahim (14:2005)[4] menjelaskan bahwa istilah filantropi yang dalam bahasa Indonesia mulai banyak diterjemahkan sebagai kedermawanan sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani ; philos (cinta atau kasih) dan  anthropos (manusia); yang kira-kira berarti cinta sesama manusia atau belas kasih, kedermawanan manusia. Maka simpulannya (baca:Rustam) filantropi dapat diartikan sebagai upaya menolong sesama, kegiatan berderma, atau kebiasaan beramal dari seseorang atau institusi, yang dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari harta atau sumber daya yang dimilikinya untuk disumbangkan kepada orang lain yang memerlukan.
Saat ini, kata filantropi lebih luas digunakan sebagai sinonim derma uang sukarela untuk prakarsa karikatif simpulannya Lenka Setkova. Artinya derma ataupun sumbangan yang diberikan tidak hanya sebatas menggugurkan makna kedermawanan. Adapun derma uang yang dikeluarkan menjadi sesuatu yang karikatif dan berorientasi investasi sosial. Sesuatu hal yang karikatif merupakan bekerja demi perubahan struktural yang memperbesar peluang bagi mereka yang paling malang secara politik, ekonomi, dan sosial.

POLITIK DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Peluang-peluang secara politik, ekonomi dan sosial bagi mereka yang kurang beruntung seringkali dimaknai sebagai keadilan sosial. Sejalan dengan paparan riset J. Hunsaker dan B. Hanzl (8:2005)[5] bahwa makna keadilan sosial bisa dianggap sebuah proses yang dilalui masyarakat untuk mencapai distribusi kekuasaan yang lebih merata dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Keadilan sosial dapat diartikan juga sebagai kesetaraan dan kekuatan  untuk mengakses peluang secara politik, ekonomi dan sosial. kesetaraan dapat berarti distribusi kekuasaan secara merata, kesejahteraan setara, atau kesempatan setara.
Bidang politik merupakan sarana yang digunakan untuk melegitimasi kebaikan kolektif (collective good). Sejarah dunia memperlihatkan bahwa sebuah pemerintah yang tidak memenuhi kebutuhan sebagian warga negara akhirnya akan runtuh. Artinya sekalipun kalau pemerintahan tidak dapat melakukan apa mau mayoritas yang mendukungnya, maka pada pemilihan berikut akan divonis tanpa suara. Sehingga pada akhirnya pemerintah akan kehilangan legitimasi atas otoritas kepemimpinan dalam pemerintahannya.
Dalam konteks Indonesia tentu kita dapat mereview beberapa peristiwa bersejarah yang disebabkan oleh ketimpangan atas kemaslahatan kolektif. Sehingga beberapa kali rezim yang berkuasa secara legitimasi dapat tumbang dengan pengorganisiran ketidak-puasan terhadap kemaslahatan (kesejahteraan). Sejatinya urusan kesejahteran haruslah menjadi orientasi perjuangan para pelaku politik di dunia politik, baik eksekutif maupun legislatif.
Urusan kesejahteran dan keadilan sosial bukan sekedar komoditas politik. Karena urusan tersebut merupakan kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tersebut mesti dipenuhi oleh penyelenggara negara beserta instrumen-instrumen politiknya. Kebutuhan yang telah dipercayakan kepada pemerintahan untuk tetap mendapat kepercayaan. Bukan sekedar janji-janji politik terlebih pada saat-saat membutuhkan suara-pemilihan. Tetapi memang didorongkan atas keinginanan luhur visi dan misi partai para pelaku politik yang diterjemahkan dari suara rakyat dalam pemerintahan atupun legislatif oleh instrument-instrumen politik yang absah. Kesejahteraan yang telah dijamin oleh Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan Rakyat[6].
Dalam fenomena THR yang dilakukan dalam konteks politik tentulah agak membingungkan jika harus menyesuaikan dengan terma filantropi (kedermawanan). Sebab keikhlasan dalam berderma bisa jadi menjadi kabur dan abu-abu, yang padahal belum tentu juga semuanya dilakukan dengan motif tertentu. Terlebih jika menghalalkan segala cara dengan mengunakan uang negara untuk digunakan THR demi kepentingan pribadi. Beda soal jika uang negara yang sudah dianggarkan menjadi program pemerintah yang terintegrasi urusan wajib dan urusan pilihan negara, ataupun bahasa THR di budaya lisan masyarakat diubah menjadi Hibah dan Bantuan Sosial.

PENUTUP
Dengan demikian THR sbenarnya mempunyai akar kedermawanan secara filosofis dan mengandung kearifan lokal secara sosial-budaya. Tetapi akan menjadi budaya yang tidak elok jika dinodai oleh oknum-oknum yang meng-atasnama-kan pejuang keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat hanya dimaknai sebagai komoditas. Terlebih komoditas yang ditenggarai sebagai poltik pencitraan. Bukan menjadi orientasi politik yang adi-luhung. Politik yang menjadi sarana untuk ketercapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Tentu kita boleh sangat berharap kepada pemerintah ataupun elit politik sangat untuk menetapkan kepercayaan dalam urusan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Kemungkinan rakyat tidak akan bersusah payah untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya. Toh bagi rakyat ejawantah kepercayaan yang dititipkan sangatlah sederhana, apabila keadilan bagi mereka didapatkan, maka urusan pilih-memilih apa dan siapa akan menjadi kesadaran yang tanpa harus disuruh.


[1] Penulis merupakan Kader Muda DPC Partai Demokrat Purwakarta yang sedang menempuh (Mahasiswa) S-2 Magister Ekonomi Islam di Universitas Islam Azzahra Jakarta.
[2] Dr. M. Syafii Antonio, M.Ec dan Tim Azkia, Eksiklopedia Leadership & Manajemen, Seri Kepemimpinan Sosial dan Politik. Halaman 46-47. TAZKIA PUBLISHING. Tahun 2011. Jakarta
[3] Lenka Setkova, Filantropi Keadilan Sosial;Sebuah kerangka kerja stretegis untuk organisasi-organisasi Filantropi. Kolom Riset-GALANG-Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani. Halaman 19-31 Vol.1, No.1, Oktober 2005. Diterbitkan oleh PIRAC-Ford Foundation-Depok
[4] Rustam Ibrahim, bukan sekedar berbisnis, buku seri tanggung jawab sosial perusahaan, ditebitkan oleh PIRAC-Ford Foundation Depok. Tahun 2005
[5] J. Hunsaker dan B. Hanzl, Memahami Filantropi Keadilan Sosial. Kolom Riset-GALANG-Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani. Halaman 5-18 Vol.1, No.1, Oktober 2005. Diterbitkan oleh PIRAC-Ford Foundation-Depok
[6] Bab I Ketentuan umum, pasal 1 “Kesejahteraan Sosial adalah keadaan sosial yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat jasmani, rohani dan sosial sesuai dengan harkatdan martabat manusia; dapat mengatasi pelbagai masalah sosial yang dihadapi diri, keluarga dan dirinya, keluarga dan masyarakatnya untuk berkembang menjadi lebih baik”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar