PENDAHULUAN
Pemerintah harus mendapatkan kepercayaan dari rakyat dan menjamin
kehidupan mereka dengan mencukupi unsur-unsur kekuatan, makanan, dan apa yang
dibutuhkan (Syafii Antonio:46:2011)[2].
Kata THR merupakan kata yang tidak asing bagi semua lapisan
masyarakat yang ada di Indonesia. Tiga huruf ini walaupun sederhana mempunyai
sejuta tafsir dan makna, terlebih lagi situasi dan kondisi yang mendukung.
Situasi dan kondisi yang mendukung menurut kebiasaan masyarakat kita, dapat disebut
hari raya. Artinya THR (baca: Tunjangan Hari Raya) menjadi sebuah perbuatan
yang tidak terpisahkan dari tradisi Hari Raya.
Kita dapat membanyangkan
bagaimana jika Hari Raya tanpa THR. Entah dari mana dan dari siapa tradisi ini
dimulai, tetapi satu hal yang pasti THR sudah sangat men-Tradisi pasti
dilakukan pada setiap Hari Raya Lebaran khususnya.
Pada hakikatnya fenomena THR tidak hanya menjadi alat
kepentingan pribadi saja yang dilakukan oleh individu untuk mengungkapkan
kedermawanannya. Kedermawananan tersebut bisa jadi secara filosofis
berlandaskan nilai-nilai keagamaan yang hakiki ataupun nilai-nilai kearifan
lokal yang sejak dulu sudah ada. Bahkan pada prakteknya ada institusi sosial
kemasyarakatan dan institusi bisnis yang menggunakan THR sebagai pendongkrak citra
terhadap Branch-mark institusinya. Sehingga THR yang tadinya hanya fenomena
sesaat menjadi melembaga dalam dinamika kehidupan masyarakat kita.
MAKNA KEDERMAWANAN
Terminologi kedermawanan seringkali dalam ilmu sosial disebut
dengan istilah Filantropi. Istilah yang lahir menurut Riset Lenka Setkova
(21:2005)[3]
bahwa asal-muasal kata filantropi dapat ditemukan di Yunani, yang berarti
“cinta pada kemanusiaan”. Secara deskriptif Rustam Ibrahim (14:2005)[4]
menjelaskan bahwa istilah filantropi yang dalam bahasa Indonesia mulai banyak
diterjemahkan sebagai kedermawanan sesungguhnya berasal dari bahasa
Yunani ; philos (cinta atau kasih) dan anthropos (manusia); yang kira-kira
berarti cinta sesama manusia atau belas kasih, kedermawanan manusia. Maka
simpulannya (baca:Rustam) filantropi dapat diartikan sebagai upaya menolong
sesama, kegiatan berderma, atau kebiasaan beramal dari seseorang atau
institusi, yang dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari harta atau sumber daya
yang dimilikinya untuk disumbangkan kepada orang lain yang memerlukan.
Saat ini, kata filantropi lebih luas digunakan sebagai
sinonim derma uang sukarela untuk prakarsa karikatif simpulannya Lenka Setkova.
Artinya derma ataupun sumbangan yang diberikan tidak hanya sebatas menggugurkan
makna kedermawanan. Adapun derma uang yang dikeluarkan menjadi sesuatu yang
karikatif dan berorientasi investasi sosial. Sesuatu hal yang karikatif merupakan
bekerja demi perubahan struktural yang memperbesar peluang bagi mereka yang
paling malang secara politik, ekonomi, dan sosial.
POLITIK DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Peluang-peluang secara politik, ekonomi dan sosial bagi
mereka yang kurang beruntung seringkali dimaknai sebagai keadilan sosial.
Sejalan dengan paparan riset J. Hunsaker dan B. Hanzl (8:2005)[5]
bahwa makna keadilan sosial bisa dianggap sebuah proses yang dilalui masyarakat
untuk mencapai distribusi kekuasaan yang lebih merata dalam bidang politik,
ekonomi dan sosial. Keadilan sosial dapat diartikan juga sebagai kesetaraan dan
kekuatan untuk mengakses peluang secara
politik, ekonomi dan sosial. kesetaraan dapat berarti distribusi kekuasaan
secara merata, kesejahteraan setara, atau kesempatan setara.
Bidang politik merupakan sarana yang digunakan untuk
melegitimasi kebaikan kolektif (collective good). Sejarah dunia
memperlihatkan bahwa sebuah pemerintah yang tidak memenuhi kebutuhan sebagian
warga negara akhirnya akan runtuh. Artinya sekalipun kalau pemerintahan tidak
dapat melakukan apa mau mayoritas yang mendukungnya, maka pada pemilihan
berikut akan divonis tanpa suara. Sehingga pada akhirnya pemerintah akan
kehilangan legitimasi atas otoritas kepemimpinan dalam pemerintahannya.
Dalam konteks Indonesia tentu kita dapat mereview beberapa
peristiwa bersejarah yang disebabkan oleh ketimpangan atas kemaslahatan
kolektif. Sehingga beberapa kali rezim yang berkuasa secara legitimasi dapat
tumbang dengan pengorganisiran ketidak-puasan terhadap kemaslahatan
(kesejahteraan). Sejatinya urusan kesejahteran haruslah menjadi orientasi
perjuangan para pelaku politik di dunia politik, baik eksekutif maupun
legislatif.
Urusan kesejahteran dan keadilan sosial bukan sekedar
komoditas politik. Karena urusan tersebut merupakan kebutuhan dasar. Kebutuhan
dasar tersebut mesti dipenuhi oleh penyelenggara negara beserta
instrumen-instrumen politiknya. Kebutuhan yang telah dipercayakan kepada
pemerintahan untuk tetap mendapat kepercayaan. Bukan sekedar janji-janji
politik terlebih pada saat-saat membutuhkan suara-pemilihan. Tetapi memang
didorongkan atas keinginanan luhur visi dan misi partai para pelaku politik
yang diterjemahkan dari suara rakyat dalam pemerintahan atupun legislatif oleh
instrument-instrumen politik yang absah. Kesejahteraan yang telah dijamin oleh
Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan Rakyat[6].
Dalam fenomena THR yang dilakukan dalam konteks politik
tentulah agak membingungkan jika harus menyesuaikan dengan terma filantropi (kedermawanan).
Sebab keikhlasan dalam berderma bisa jadi menjadi kabur dan abu-abu, yang
padahal belum tentu juga semuanya dilakukan dengan motif tertentu. Terlebih
jika menghalalkan segala cara dengan mengunakan uang negara untuk digunakan THR
demi kepentingan pribadi. Beda soal jika uang negara yang sudah dianggarkan
menjadi program pemerintah yang terintegrasi urusan wajib dan urusan pilihan
negara, ataupun bahasa THR di budaya lisan masyarakat diubah menjadi Hibah dan
Bantuan Sosial.
PENUTUP
Dengan demikian THR sbenarnya mempunyai akar kedermawanan
secara filosofis dan mengandung kearifan lokal secara sosial-budaya. Tetapi
akan menjadi budaya yang tidak elok jika dinodai oleh oknum-oknum yang
meng-atasnama-kan pejuang keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat hanya
dimaknai sebagai komoditas. Terlebih komoditas yang ditenggarai sebagai poltik
pencitraan. Bukan menjadi orientasi politik yang adi-luhung. Politik yang
menjadi sarana untuk ketercapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Tentu kita boleh sangat berharap kepada pemerintah ataupun
elit politik sangat untuk menetapkan kepercayaan dalam urusan keadilan sosial
dan kesejahteraan rakyat. Kemungkinan rakyat tidak akan bersusah payah untuk
mendapatkan kebutuhan dasarnya. Toh bagi rakyat ejawantah kepercayaan yang
dititipkan sangatlah sederhana, apabila keadilan bagi mereka didapatkan, maka
urusan pilih-memilih apa dan siapa akan menjadi kesadaran yang tanpa harus
disuruh.
[1] Penulis merupakan
Kader Muda DPC Partai Demokrat Purwakarta yang sedang menempuh (Mahasiswa) S-2
Magister Ekonomi Islam di Universitas Islam Azzahra Jakarta.
[2] Dr. M. Syafii Antonio,
M.Ec dan Tim Azkia, Eksiklopedia Leadership & Manajemen, Seri
Kepemimpinan Sosial dan Politik. Halaman 46-47. TAZKIA PUBLISHING.
Tahun 2011. Jakarta
[3] Lenka Setkova, Filantropi
Keadilan Sosial;Sebuah kerangka kerja stretegis untuk organisasi-organisasi
Filantropi. Kolom Riset-GALANG-Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani.
Halaman 19-31 Vol.1, No.1, Oktober 2005. Diterbitkan oleh PIRAC-Ford
Foundation-Depok
[4] Rustam Ibrahim,
bukan sekedar berbisnis, buku seri tanggung jawab sosial perusahaan,
ditebitkan oleh PIRAC-Ford Foundation Depok. Tahun 2005
[5] J. Hunsaker dan B.
Hanzl, Memahami Filantropi Keadilan Sosial. Kolom
Riset-GALANG-Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani. Halaman 5-18 Vol.1, No.1,
Oktober 2005. Diterbitkan oleh PIRAC-Ford Foundation-Depok
[6] Bab I Ketentuan umum, pasal 1 “Kesejahteraan
Sosial adalah keadaan sosial yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat jasmani, rohani dan sosial sesuai
dengan harkatdan martabat manusia; dapat mengatasi pelbagai masalah sosial yang
dihadapi diri, keluarga dan dirinya, keluarga dan masyarakatnya untuk berkembang
menjadi lebih baik”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar