PENDAHULUAN
Dalam konsteks daerah tentu
kita dapat melihat dengan jelas hiruk-pikuk perpolitikan. Siapa mendukung
siapa, siapa mendukung apa sampai ada yang mengalihkan dukungan darimana kepada
siapa. Tentu perbuatan tersebut tidak lepas dari motif dan tujuan orang
berpolitik. Sebenarnya motif dan tujuan orang berpolitik semestinya merujuk
kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ketentuan-ketentuan yang berlaku dapat
juga disebut sebagai landasan seseorang berpolitik, sehingga terjadi kemengertian-sadar
dalam berpolitik. Ini sesuai dengan
analisa Eep Saepullah Patah (26:1999)[2]
yang menganalisa tentang tipologi gerakan massa. Tipologi gerakan massa yang dimaksud adalah tipologi massa “Matang”, yakni berperan serta dalam sadar-politik, pengetahuan dan kesadaran terhadap sistem dan percaya terhadap regulator yang absah.
yang menganalisa tentang tipologi gerakan massa. Tipologi gerakan massa yang dimaksud adalah tipologi massa “Matang”, yakni berperan serta dalam sadar-politik, pengetahuan dan kesadaran terhadap sistem dan percaya terhadap regulator yang absah.
Di sisi lain, bahwa demokratisasi kita terkadang
sering melupakan Massa sebagai sumber utama dari proses tersebut. Proses ini
yang dalam kritik W.F. Wertheim (5:2009)[3]
dalam bukunya “Elite versus Massa” dikatakan sebagai “sociology of
ignorance”. Ia (baca:W.F.Wertheim) menjelaskan bahwa ada fenomena massa
rakyat disesatkan (baca:misled), yang artinya para pemimpin itu “sebetulnya
tahu” tetapi penyimpanan pengetahuan itu untuk mereka sendiri dan pengetahuan
itu akan digunakan jika perlu.
Terlebih misalnya permasalahan dengan siapa elite politik-lokal
melakukan kesepakatan kongsi. Apakah kelompok kepentingan[4]
dan elite politik yang menjadi pejabat publik melakukan “kesepakatan-kebijakan
publik” ataukah “kesekapatan-persekongkolan”. Memang tidak salah apabila elite
politik bersepakat dengan kelompok kepentingan, jika tujuan dasarnya yakni
kebijakan publik. Fenomena per-kongsi-an dalam alam demokratisasi merupakan hal
yang wajar. Hal yang wajar apabila peng-akomodasi-an kepentingan dari kelompok
kepentingan, menjadi kebijakan publik.
KARTEL-ISASI KADER POLITIK
Pengalaman Election-Democracy di
Amerika sangat memberikan pelajaran bagaimana para kelompok kepentingan sangat
ingin kebijakan publik berpihak kepada mereka. Misalnya kelompok kepentingan
bisnis akan merasa senang jika kebijakan publik yang lahir sangat memberikan
keuntungan terhadap performa bisnis mereka. Sehingga yang terjadi, perusahaan-perusahan
secara individu melobi para anggota legislatif secara langsung, dan mereka
menyalurkan jutaan dolar dalam bentuk sumbangan kampanye kepada calon-calon
yang mereka senangi (R.Allen Hays:58:2001)[5].
Tak hanya pengalaman di Amerika
sebetulnya, fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia, terlebih dalam ajang
kompetisi politik lokal yang bergengsi misalnya (baca:PILKADA) pemilihan Kepala
Daerah. Hal tersebut telah dapat dikritisi oleh Antonius Made Tony Supriatma
(11:2009)[6]
bahwa proses pencalonan Kepala Daerah kerap diwarnai oleh praktik
persekongkolan antara partai politik dan kalangan bisnis lokal. Para pengusaha
yang saling berhadapan dapat mengamankan kepentingan bisnis lewat politik;
berharap menjadikan partai-partai politik sebagai “perahu”, yakni alat mereka
untuk maju dalam pemilihan.
Sejatinya secara normatif relasi
politik-bisnis dapat mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh
Politics-Aristoteles yang dikutip oleh Betrand Russel (261:2007)[7]
di bukunya “Sejarah Filsafat Barat” bahwa ia (baca:Aristoteles) menyatakan
“orang-orang yang kerjanya mencari nafkah sebaiknya jangan dimasukkan sebagai
warga-negara. Warga-negara hendaknya tak jalani hidupnya sebagai tukang atau
pedagang, sebab hidup demikian itu tidak terhormat dan bertentangan dengan
keutamaan. Jangan pula mereka menjadi, sebab warga-negara memerlukan memerlukan
waktu senggang”.
HAKIKAT KADER &
KADERISASI
Sangat penting bagi kita
untuk mengetahui akar-akar hakikat kader dan kaderisasi. Menurut Asari (18:2009)[8] bahwa Gandi (1998)
telah menjelaskan bahwa Istilah kader berasal dari
bahasa Perancis “le Cadre” arti harfiyahnya adalah “Bingkai”. Sebagaimana bingkai
tugas dan Fungsi kader yaitu penjaga dan pengawal, serta penegak cita-cita dan
aspirasi rakyat banyak. Persyaratan kader ada dua; pertama dia harus
punya jiwa kepeloporan atau disebut pula dengan jiwa Avant Guarde,
jiwa yang memiliki idealisme tinggi dan realisme mendasar, kedua dia
harus punya ilmu dan teori perjuangan; dia harus tahu dasar dan tujuan,
strategi dalam memperjuangkan apa yang
menjadi cita-citanya. Kemudian masih menurut Gandi dengan mengutip Hatta bahwa
Kaderisasi sama artinya dengan Edukasi. “Pendidikan! belum atau tidak politik”,
tulis Hatta tahun 1932. “POLITIK DI NEGERI TERJAJAH TERUTAMA BERARTI
PENDIDIKAN”. Akan tetapi, pendidikan di sini tidak mesti diartikan pendidikan
formal, atau dalam istilah Hatta “sekolah-sekolahan”, melainkan pendidikan
dalam arti luas.
Senada dengan Gandi dan Hatta, bahwa
Politics-Aristoteles mengariskan dalam bahasa yang berbeda tetapi esensi yang
sama. Seperti yang dikutip oleh Betrand Russel (262:2007)[9]
di bukunya “Sejarah Filsafat Barat”, Ia (baca:Aristoteles) mengatakan bahwa
warga-negara harus dicetak sesuai dengan bentuk pemerintahan di mana ia hidup,
dan karena itu akan terdapat perbedaan-perbedaan sesuai dengan apakah kota yang
bersangkutan berbentuk oligarki atau demokrasi.
PENUTUP
Dengan demikian pengembanan tugas terhadap
kemengertian-sadar dalam berpolitik menjadi tugas penting seorang kader
politik. Waktu yang panjang menjadi proses tranformasi kemengertian-sadar dalam
berpolitik menjadi sebuah proses kaderisasi. Sehingga boleh jadi kualitas
demokratisasi di daerah kita akan menjadi lebih baik dan bermutu.
Kemengertian-sadar dalam berpolitik inilah yang mesti dibangun. Bangunan (baca:
Kemengertian-sadar) seperti apa yang akan menjadi jawaban tersendiri bagi para
kompetitor politik. Terlebih lagi para kompetitor politik harus dapat
mengejawantahkan kemengertian-sadar dalam waktu yang panjang serta orang yang
tepat untuk mengembannya.
[1] Penulis merupakan
Kader Muda DPC Partai Demokrat
Purwakarta ,Alumni UIN SGD Bandung yang sedang menempuh (Mahasiswa) S-2 Magister
Ekonomi Islam di Universitas Islam Azzahra Jakarta.
[2] Eep Saipul Patah, Membangun Oposisi Agenda-Agenda Masa Depan.
1999. ROSDA-Bandung
[3] W.F. Wertheim, Elite
vs massa.2009. (LIBRA&RESIST Book)-Jogyakarta
[4] Jeffrey Berry-Masyarakat
Kelompok Kepentingan memberikan definisi sbb ; “kelompok
kepentingan adalah sebuah lembaga terorganisir yang beranggotakan
individu-individu yang memiliki tujuan sama serta berupaya mempengaruhi
kebijakan publik” dalam
Demokrasi; Naskah Kesembilan yang berjudul “Peran Kelompok Kepentingan” oleh R. Allen
Hays yang diterbitkan
oleh Office of International Information Programs US Departement
of State.2001)
[5] R. Allen
Hays dalam Demokrasi;Naskah
Kesembilan yang berjudul
“Peran Kelompok Kepentingan” yang
diterbitkan oleh Office of International Information Programs US
Departement of State.2001)
[6] Antonius Made Tony
Supriata, Menguatnya Kartel Politik Para “Bos”. Majalah PRISMA-LP3ES.
Vol.28, Oktober 2009.
[7] Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat.
2007 cet. III. Terbitan Pustaka Pelajar-Jogyakarta
[8] Asari. Fase Perencanaan Pelatihan
Kader Brigade Pelajar Islam
Indonesia (PII) dalam upaya mengadvokasi Kebijakan Publik . 2009.
Skripsi-FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[9] Loc.cit.
Betrand Russel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar