" BURHAN-ONNIE, BERSIH, TEGAS, CERDAS & SANTUN "

Pudarnya sebuah khittah - H. Onnie S Sandi, SE

Senin, 16 Januari 2012 
Hukum, Pro Justicia;
“Keadilan hanya dapat diartikan dalam keberadaan pihak. Titik temu keberimbangan antar pihak. Oleh karena itu keadilan hanya berarti kesepihakan manakala dalam formulasinya sama sekali mengabaikan peran dan keberadaan publik” 

“Le loa cest moi”, ungkapan antagonis raja Louis di era monarki Perancis di abad perte-ngahan tersebut merupakan noktah hitam yang diseberangkan sekaligus dapat dianta-ranya dijadikan sebagai presumption motif dari bagaimana perlunya hukum dan peraturan
perundang-undangan dibuat, diformulasikan dalam rangka menghindarkan diri dari terjadinya penindasan dan penguasaan. Hukum merupakan upaya perlindungan pada awalnya. Pemberian dari jajaran hak rakyat yang ingin diakui oleh kekuasaan agar keberadaannya tidak menjadi bahan eksploitir pihak penguasa.

Seiring dinamika interaksional yang menunjuk ke arah histori penguatan komunitas rakyat di era bertumbangannya monarki, teorema hu-kum beralih ke arah keadilan. Perlindungan tidak bisa ditafsirkan sepihak dengan mengabaikan keberadaan pihak lain, dalam arti bahwa bukan hanya rakyat, tetapi juga kekuasaan, perlu mendapat perlindungan dari gerak anarki. Equilibrium keadilan, pro justicia, “Cinta Keadilan”, inilah khittah, rechtsidee dari semua bentuk hukum dan peraturan per-undang-undangan.

Khittah Keadilan
Berbeda secara kontekstual dengan Hukum Pidana atau Perdata sebagai sebuah formulasi produksial dari teorema keadilan, Hukum Ke-tatanegaraan di dalamnya menjangkau kebe-radaan pihak dalam bentuk interaksional yang kontinu. Jika pidana maupun perdata bersifat kasuistis, maka lingkup tata negara dalam produksialitas formulasi hukum dan peraturan perundang-undangannya terkait dengan se-buah pola hubungan berjalan. Sebuah ”aturan main” antara pihak kekuasaan dengan pihak yang dikuasai, harian, tahunan atau hingga batas yang disepakati. Ia tidak individualistik, karena itu terikat kuat dengan kenyataan, landasan dan latar belakang sosiologis dan filosofis.
Dalam perspektif demokrasi; hal mana rakyat, publik atau masyarakat ditinggikan dalam kedudukannya, maka pijak sosiofilofis dimaksud tentunya menunjuk pada keberadaan publik sebagai sebuah pihak terutama. Keadilan, sebagai khittah, berarti pengakomo-diran peran publik. Hal mana mengingat bahwa secara terminologis keadilan merupa-kan andaian tindak yang hanya ada dan bisa mengandung arti apabila menunjuk kebera-daan elemen-elemen pihak di dalamnya. Terminologi keadilan tidaklah ada dalam sebentuk unsur tunggal. –L’art pour l’art, Le loa pour le loa, seni untuk seni, hukum untuk hukum, adalah nonsens dari ideosinkrasi positivistik. Semua; termasuk hukum, haruslah demi suatu tujuan.
Maka perlu kiranya lebih lanjut disadari pem-posisian publik sebagai obyek sekaligus subyek hukum. Publik bukanlah elemen materi non sadar seperti halnya obyek hukum dan rumusan dalam dunia sains, tetapi merupakan sekumpulan individu manusia berkesadaran yang memerlukan aktualisasi bagi dirinya, yang ingin merepresentasikan dirinya, mengaspirasikan, menjaga, melibatkan diri, yang oleh karena itu dengannya ia dapat berada secara sosial sebagai sebuah makna.

Khittah keadilan, pun secara teoretis, dimana kesemua asas; asas non retroaktif, asas lex superiori derogat legi inferiori, lex posteriori derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generali, dibuat sebagai pembatas dan upaya bagi diwujudkannya keadilan.

Fenomena Pengesampingan
Perubahan model demokrasi yang semula sentralistik menjadi desentralistik di Indonesia ini, semestinya semakin membuka dan memudahkan publik untuk turut berperan dan terlibat dalam semua bentuk kerja kepeme-rintahan yang secara teoretis telah tidak lagi memiliki jarak signifikan dengan publik. Produk hukum dan peraturan perundang-undangan pun telah menjadi satuan-satuan lokal yang tentunya kian berdekatan dengan subyek dan obyek hukum itu sendiri yang selama ini diabaikan, yakni masyarakat dimana pemerintah maupun pemerintah daerah sebelumnya bermain sendirian.
Khittah keadilan hukum di era desentralistik tersebut kian paripurna, dimana peran publik memperoleh ratifikasi melalui UU 10 tahun 2004 dan UU 32 tahun 2004. Apakah dalam konteks local government tersebut hal ini telah berjalan efektif? Itu tentu menjadi soal lain mengingat integritas pelaku kepemerintahan daerah itu sendirilah yang merupakan ger-bang bagi kemungkinan itu terwujud.

Menunjuk Purwakarta sebagai lokusnya, dapat ditampilkan realita sbb:

1. Semua produk hukum daerah memiliki kewajiban untuk disosialisasikan mulai dari tahap rancangan (oleh sekretariat daerah/DPRD bergantung dari berasal dari mana rancangan itu diusulkan). Faktanya, belum pernah sekalipun publik, komunitas komunitas publik, mendapatkan sosialisasi perihal rancangan peraturan daerah.

2. Publik, lisan maupun tulisan, dapat berperan serta dalam pembahasan produk hukum daerah. Faktanya, apakah mekanisme tersebut dibuka dengan rapat-rapat yang mengundang elemen publik? Apabila berbicara bentuk rapat paripurna, apakah dibuka kesempatan pandangan publik di dalamnya? –sama sekali tidak.

3. Semua produk hukum; termasuk daerah, harus menempuh analisis yang dituang-kan dalam bentuk naskah akademis sebelum penyusunannya (Perpres 68 tahun 2005). Adakah naskah akademis tersebut? Suatu naskah yang secara inter teks apabila disejalankan dengan UU 10 maupun 32/2004 maka akan berpijak pada analisis publik demi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta dalam materi muatan bernama “keadilan”.

4. Ketaatan asas. Asas non retroaktif, asas tidak berlaku surut, yang hanya dapat dikecualikan apabila terdapat situasi khusus dimana aturan di dalamnya mengikat obyek hukum yang dalam aspektuasi tindakan hukumnya pada saat pra pengundangan dipandang masih memunculkan konsekuensi hukum yang mesti diper-tanggungjawabkan.
– Faktanya, di tahun 2010, lahirlah Perda RPJMD tahun 2008-2013 yang berlaku surut. Sebuah anekdot, dimana eksekutif dan legislatif, di tahun 2010 itu sibuk merencanakan pembangunan Purwakarta untuk tahun 2008-2009. Artian mengikat, adalah menunjuk persona hukum dari pelaku tindakan hukum tersebut, sehingga retroaktifasi hanya dapat dilakukan oleh penyepakat dan persona pelaku hukum yang sama yang produknya dapat sederajat maupun lebih tinggi. Apakah unsur anggota DPRD baru sebagai bagian dari penyepakat, mau untuk ikut secara bersama-sama bertanggung jawab atas tindakan pembangunan di tahun 2008-2009, meski mereka saat itu belum lagi menjadi anggota DPRD baru. Padahal, keberada-an Peraturan Bupati tahun 2008 tentang RPJMD 2008-2013 sedianya sudah mema-dai dan berkekuatan hukum mengikat dalam arti bagi dirinya, bagi persona pelaku RPJMD, dan diperintahkan oleh UU 25/2004 dan 17/2007. Anekdotisir ironi kapabilitas, sebuah pemborosan dan inefisiensi dari segi biaya maupun waktu.

5. Efisiensi dan efektifitas adalah rechtsidee, ruh dari desentralisasi, mencakup semua mekanisme kerja kepemerintahan tak ter-kecuali kerja legislasi. Lebih-lebih menim-bal balik pada maksud efektif dari asas ke-hasilgunaan untuk diperluas juga ke tataran formulasi? –Hipotetikanya, bagai-mana mungkin sebuah produk hukum dapat berlaku efektif apabila perancangannya sendiri merupakan plot yang tidak menginginkan efisiensi dan efektifitas. Hal ini menunjuk pada susunan Prolegda 2011 berisikan raperda tentang pajak dan retribusi daerah yang dipecah-pecah ke dalam 20 Raperda. Tidakkah efektif apabila dilakukan perangkuman menjadi 1 (satu) raperda tentang Pajak dan Retribusi Daerah saja, menimbangkan rumusannya yang dapat dibilang sederhana, yakni sekadar memuat subyek dan obyek dari pajak dan retribusi belaka untuk lantas menyerahkan level tata laksananya ke wilayah peraturan bupati? –Ineffectiveness dimana dengan begitu anggaran pemba-hasan dapat dipecah-pecah. Sebuah titik dari banyak titik anggaran yang kerap diformulasi sedemikian rupa ke arah yang dalam perspektif publik merupakan kesia-siaan, bahkan penghianatan tanggung jawab.

Sekian fakta di atas sekadar perwakilan dari banyak fakta inkonsistensi dari embanan amanat. Pembahasan tertutup RAPBD di hotel-hotel berbintang, tiadanya upaya/ itikad untuk melembagakan sosialisasi dan penampungan respons publik, tidak dimanfaatkannya keberadaan teknologi demi efisiensi pembahasan adalah juga sekadar tambahan fakta dari banyak fakta maka bagaimana mungkin publik dapat dituntut dan diharapkan untuk berperan serta; tahu tentang APBD apalagi RAPBD saja tidak? –Tahu tentang mereka dalam implementasinya akan dibawa kemana juga tidak; selain dari sekadar mengalami brain storming berupa adegium propagandus berkarakter dan berjalan leucir.

Pada akhirnya, teorema khittah yang menunjuk pada keadilan, meski dalam ruang media yang serba terbatas ini spesifik dihubungkan dengan aspek hukum dan peraturan perundang-undangan, perspektifnya mestilah ditangkap dengan perluasan; Keadilan, peran serta, pengakuan, pemberdayaan, pencerdasan dan pencerahan publik di semua sektor.

Menilik kujang sebagai simbolisasi identitas feodalisme yang di era kolonial menjalin sindikasi dengan kaum imperialis, dalam arti bahwa kujang pada faktanya merupakan barang yang mewah dan yang hanya dimiliki menak dan para darah biru feodalistik di tatar sunda dimana publik sebenarnya lebih me-ngetahui dan akrab atas nilai guna dari kata bedog atawa peso, tulisan khittah ini merupakan sebuah ajakan kepada publik untuk mari berkesadaran dan berpikir kritis.

Idealisasi apapun, tak akan terealisasi dengan hanya tinggal diam. Dengan berpikir, setidaknya menghindarkan diri dari kontaminasi agar bisa tetap di jalur khittah.