Politisasi dan Politisi PNS, adalah dua istilah yang mengandung makna berbeda yakni politisasi PNS lebih berwakna ketidak berdayaan PNS melawan hegemoni kekuasaan sehingga melakukan tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan kewajiban dan keinginan dirinya , sedangkan Politisi PNS lebih mencerminkan perilaku PNS yang secara sadar dan sengaja melakukan tindakan melawan hukum dengan melanggar Undang-Undang dan Peraturan dan terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam kegatan politik praktis untuk memenangkan Petahana.
Apabila kita melihat histori tentang PNS ternyata memiliki sejarah panjang tentang keterlibatan dalam politik praktis. Sejak masa Demokrasi Parlementer Tahun 1950-an, dimana PNS diberi kebebasan untuk masuk dan terlibat aktif partai politik, demikian juga pada masa Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpinnya. Pada masa orde baru situasinya semakin tidak demokratis karena semua PNS digiring masuk Parpol tertentu bahkan jika tidak mengikuti kebijakan tersebut maka dianggap tidak loyal bahkan bukan tidak mungkin dianggap sebagai penghianat.
Undang-Undang dan Peraturan tentang Netralitas PNS :
- UU 43 Th. 1999 Ps. 3 (1-3) antara lain : (1) PNS harus Profesional, (2) PNS harus Netral dan tidak diskriminatif, (3) PNS dilarang menjadi anggota atau pengurus Porpol;
- UU 10 Th. 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR,DPD, Pasal 84 (3,4 dan 5) yang berkaitan dengan PNS dan Kampanye serta Pasal 273 yang mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 84.
- PP No. 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS.
- Surat Edaran MENPAN No. SE/08.A/M.PAN/5/2005 yang mengatur tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah
Walau Reformasi telah berjalan 14 Tahun dan telah ada Undang-Undang dan Peraturan yang mengatur tentang Netralitas PNS namun ternyata PNS masih belum berubah, hal ini tidak lepas dari Peraturan Pemerintah PP No. 96/2000, yang mengatur tentang ketentuan mengenai kewenangan yang besar dari kepala daerah bupati dan walikota, untuk mengangkat dan memberhentikan PNS dari pangkat/golongan I/A hingga IV/E. Demikian juga dengan jabatan-jabatan struktural dari eselon V hingga I.
Dengan demikian nasib dan karir PNS banyak ditentukan oleh para atasannya yang bukan PNS. Sebagai bahan perbandngan setelah diberlakukan otonomi daerah, kompetensi dan kinerja kepala sekolah di jenjang TK, SD, SMP & SMA /SMK, masih tetap rendah, hal ini antara lain, disebabkan campur tangannya politik lokal dalam pengangkatan kepala sekolah. Dalam banyak kasus pengangkatan kepala sekolah tidak berdasarkan kompetensi dan profesionalisme tetapi terkait dengan dukungan politik kata Syawal Gultom. Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan , Kemdikbud ( Kompas , Jakarta Senin 23 Juli 2012 ), demikian pula disampaikan oleh Siwandari, Kepala Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah Kemdikbud, mengatakan banyak kepala sekolah yang sudah dilatih hingga mememnuhi standar nasional tidak dipilih bupati/walikota artinya pengangkatan kepala sekolah mengabaikan kompetensi. ( Kompas, Senin 23 Juli2 012 ). Contoh kasus ini ternyata hampir terjadi pada Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Bagian dan Jabatan lainnya.
Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah secara langsung saat ini berdampak negatif terhadap karier, jenjang kepangkatan dan jabatan PNS. karena untuk bisa diangkat menjadi pejabat struktural di daerah, PNS harus aktif terlibat dalam kegiatan politik praktis dan setidaknya harus memiliki kriteria sbb ;
- Menjadi Tim Sukses.
- Menjadi kroni , dengan bersedia melakukan apa yang diinginkan atasannya termasuk melakukan korupsi, manipulasi dan intimidasi baik terhadap PNS lainnya yang tidak sejalan ataupun pada masyarakat lainnya.
- Membeli jabatan dengan membayar uang sejumlah tertentu.
Hal semacam ini kerap terjadi hampir di seluruh daerah , sehingga menyebabkan tidak berjalannya birokrasi pemerintah dan tidak tercapainya prinsip KIS Management ( Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi ), bahkan menyebabkan rendahnya ethos kerja dan ketidak harmonisan antara aparatur negara sehingga tidaklah mengherankan apabila kita sering menjumpai demoralisasi seperti berikut ini, yaitu :
- Kinerja rendah.
- Profesionlisme dan kompetensi tidak berjalan.
- Kondisi pro-kontra dan terkotak-kotak.
- Intrik.
- Apatisme.
- Terjadi balas dendam apabila ada pergantian Kepala Daerah.
PNS yang semestinya bekerja sesuai dengan sumpahnya ketika dilantik sebagai PNS dan/atau harus melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya sebagai PNS dengan mengutamakan kepentingan negara di atas golongan. Dalam UU No 32 Tahun 2004, pegawai negeri sipil difungsikan sebagai alat pemersatu bangsa dalam arti setiap pegawai negeri sipil harus bersedia ditempatkan di seluruh Tanah Air di Republik Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam dokumen yang harus ditandatangani sewaktu diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sudah saatnya ada sangsi dan hukum yang tegas terhadap perilaku anomali dari PNS tersebut. Namun keadaan tidak akan pernah membaik apabila kesalahan ini hanya di bebankan pada PNS saja, sudah saatnya para Kepala Daerah memiliki komitment, etika, tanggung jawab dan jiwa kenegarawanan, dengan melakukan pembinaan secara baik dan benar tentang hak dan kewajiban PNS, jalankan dan dorong proses pengangkatan dan pemberhentian jabatan struktural di PNS sesuai dengan integritas, kompetensi dan profesional sehingga Pemerintah Daerah akan memiliki tenaga trampil dan handal yang berorientasi pada proses dan hasil yang optimal.
Tugas seorang kepala daerah adalah membuat perencanaan, memilih para pembantunya dengan tepat sesuai prinsip the right man on the right place , melaksanakan dan mengawasi serta mengendalikan seluruh kegiatan agar dapat berjalan sesuai yang telah direncanakan dengan efisien dan efektif. Apabila hal ini dapat dilakukan maka saya yakin program-program pemerintah akan berjalan, bekerja dan mengalami percepatan secara signifikan. Dengan berfungsinya aparatur negara yang memiliki integritas, kompeten dan profesional akan berdampak langsung pada meningkatnya pelayanan publik pada masyarakat luas yaitu dengan murahnya biaya pendidikan, bahkan bukan sesuatu yang sulit pemerintah daerah mampu memberikan pendidikan gratis hingga SMA/SMK , semakin terjangkaunya pelayanan kesehatan hingga ke pelosok desa, berkurangnya angka pengangguran, bangkitnya ekonomi kerakyatan, meningkatnya hasil dan harga produk pertanian serta perbaikan dan pembangunan infrastruktur yang berorientasi pada peningkatan pelayanan publik dan nilai ekonomi masyarakat, maka secara bertahap pendapatan dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat . Kalau sudah begini ketika Sang Petahana mencalonkan kembali dalam Pilkada, tidak perlu repot-repot menebar umbul-umbul, spanduk, baligo, strker, Poster di kantor pemerintahan, iklan bagai Newbie dan tidak perlu juga mengintimidasi dan mengiming-iming PNS, RT, RW , Desa dan masyarakat, karena akan muncul dengan sendirinya kekuatan-kekuatan dan kelompok-kelompok masyarakat, ulama, karyawan, buruh, tani termasuk PNS didalamnya yang menguat dan mengkristal bagai Snow Ball ( Bola Salju ) yang semakin hari semakin besar memberikan dukungan. Apabila sudah memiliki kekuatan seperti ini akan sangat sulit untuk dibendung, karena memiliki coersive power ( kekuatan memaksa ) bagi siapapun termasuk partai politik untuk berfikir rasional dan memberi dukungan dan mengusung kembali Sang Petahana........
( Penulis adalah pemerhati masalah politik di Purwakarta )
Baca juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar